MAKALAH
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas UAS
Mata Kuliah: Filsafat
Dakwah
Dosen Pengampu: Drs. Miftahuddin M.Si
Oleh
: Naharuddin
Jurusan
: Dakwah
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM
LUQMAN AL-HAKIM SURABAYA
TAHUN AJARAN 2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN
Mad’u adalah objek dakwah bagi seorang da’i
yang bersifat individual, kolektif, atau masyarakat umum. Masyarakat sebagai
objek dakwah atau sasaran dakwah merupakan salah satu unsur yang penting dalam
sistem dakwah yang tidak kalah peranannya dibandingkan dengan unsur unsur
dakwah yang lain oleh sebab itu masalah masyarakat ini seharusnya di pelajari
dengan sebaik-baiknya sebelum melangkah ke aktivitas dakwah yang sebenarnya.
Maka dari itu sebagai bekal dakwah dari seorang da’i atau muballig hendaknya
memperlengkapi dirinya dengan beberapa pengetahuan dan pengalaman yang erat
hubungannya dengan masalah masyarakat.[1]
Para Da'i tidak cukup hanya mengetahui objek dakwah secara umum
dan secara khusus tersebut, tetapi yang lebih penting lagi yang harus diketahui
adalah hakikat objek dakwah atau sasaran dakwah itu sendiri. Adapun hakikat
objek dakwah adalah seluruh dimensi problematika hidup objek dakwah, baik
problem yang berhubungan dengan aqidah, ibadah, akhlaq, mu'amalah, pendidikan,
sosial, ekonomi, politik, budaya, dll.
Proses dakwah sulit
berhasil tanpa adanya analisa terhadap sasaran dakwahnya terlebih dahulu.
Sebagaimana diketahui, manusia bukanlah benda mati yang dapat diatur dan
dibentuk tanpa mengadakan respons balik. Tetapi manusia adalah makhluk hidup
dengan segala esensinya, memiliki akal, hati dan perasaan, juga memiliki
kehendak dan cita-cita, selain akal yang dapat menilai mana yang baik dan harus
diikuti dan mana yang tidak baik yang harus dijauhkan. Semua potensi ini
merupakan realitas manusia yang dihadapi oleh da’wah sehingga da’wah harus
mempertimbangkan siapa mad’unya, apa kecenderungan dan permasalahan yang
dialami. Semuanya dikenal dengan analisis sosial.
Keberhasilan dakwah akan
sangat bergantung kepada bagaimana da’i tersebut berdakwah. Tidak hanya
penguasaan materi yang diluar kepala, kemampuan dai dalam mengenal dan memahami
ilmu dakwah pun sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dakwah itu sendiri.
Salah satu anasir ilmu dakwah tersebut ialah membahas tentang strata Mad’u, tipologi
Mad’u dan Sasaran-nya.
BAB II
PEMBAHASAAN
Klasifikasi Mad’u
Secara
mendasar klasifikasi, mad’u ini tidak ada hubungannya dengan memetak-metak
kelompok ataupun pengkastaan golongan manusia atas manusia lainnya. Lebih dari
itu, pengklasifikasian mad’u memilii maksud tersendiri yakni untuk memperoleh
pengetahuan tentang karakter-karakter yang khas dimiliki oleh suatu
kelompok mad’u tertentu yang tidak
terdapat pada lainnya.
Ada banyak
Ulama yang menjelaskan tentang sasaran atau orang-orang yang perlu di dakwahi
namun penulis mencoba mengambil beberapa pendapat yang di anggap penting dan
utama dalam makala ini :
Menurut Muhamkmad Abu Fath Al-Bayanun Dakwah
itu ditujukan untuk orang kafir agar
masuk islam, juga di tujukan kepada muslim untuk memperbaiki keislaman mereka
serta meningkatkan keimanan mereka. Kalau orang-orang kafir di seru itu terdiri
dari berbagai macam jenis dan modelnya, demikina juga objek dakwah dari
kalangan muslimin pun bermacam-macam.
Al-Quran telah mengisyaratkan bahwa muslimin
itu terbagi menjadi tiga macam. Allah ta’ala berfirman :
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ
عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ
سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
“kemudian kami mewariskan kitab itu kepada
orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba kami. Maka di natara mereka
sendiri dan dikalangan mereka pun ada orang yang sedang-sedang da nada pula di
antara mereka yang lebi dulu berbuat kebaikan dengan izin Allah, yang demikian
itu adalah karunia yang amat besar.”[2]
Pengetahuan ini, secara lebih jauh
sangat berguna untuk menentukan kebijakan dakwah tentang bagaimana cara
mensikapi dan berinteraksi dengan masing-masing kelompok manusia tersebut.
Sekaligus sebagai pengalaman atas nabi: “Khatib al-nas ala qadri uqulihim/
berkomunikasi dengan manusia setara dengan taraf penalaran mereka”.
Dalam hubungannya dengan seruan
dakwah, ojek dakwah di sini digolongkan
menurut empat kategori. Pertama,
sikap mad’u terhadap seruan dakwah, kedua,
antusiasanya kepada dakwah, ketiga
kemampuan dalam memahami dan menangkap pesan dakwah, dan keempat, kelompok mad’u berdasarkan keyakinan.
1.
Klasifikasi Mad’u Menurut Sikapnya
terhadap Dakwah.
Pakar
dakwah abdul Karim Zaidan[3]
dalam buku Ushul al-Dakwah, mengolompokkan manusia dalam empat ketegori
berdasarkan sikapnya terhadap dakwah. Empat kategori dakwah yang dimaksud
secara berturut-turut adalah;
1.
al-mala (pembuka
masyarakat), yaitu kelompok manusia yang memegang wewengan atas keadilan
masyarakat banyak;
2.
Jumhur al-anas (mayoritas manusia), mereka itu terdiri dari
kelompok alit masyarakat yang memiliki kekuasaan penuh atas orang bayak;
3.
Munafiqun (orang0orang munafik) adalah tife kelompok
oportunis yang menyembunyikan kekufuran di balik keislamannya. Menurut Zaidan,
mereka itu biasanya ditemukan dalam stuasi ketika kebenaran telah menjadi opini
publik dan keimanan telah menjadi identitas mayoritas;
4.
Al-usat (para Pendurhaka) adalah ketegori orang-orang yang
masih bimbang dalam menerima kebenaran. Oleh karena itu iman mereka tidak tipis
dinilai tidak cukup kuat untuk menahannya dari perbuatan-perbuatan maksiat,
sekalipun telah menyatakaan keislamannya.
2.
Pengolompkkan Mad’u Berdasarkan
Antusiasnya Kepada Dakwah
Mengenai
sikap mad’u terhadap seruan dakwah, al-qur’an menyebutkan tiga kelompok Mad’u
yaitu;
a.
Kelompok yang bersegerah dalam menerima kebenaran
(al-sabiquna bi al-khirat). Menurut pakar tafsir kenamaan Wahbah al-Zuhayli
yaitu golongan mad’u yang cenderung antusias pada kebaikan dan tanggap terhadap
seruan-seruan dakwah baik sunnah apa lagi yang wajib. Sebaliknya dia amat takut
mengerjakan hal-hal yang diharamkan agama, di sambing berusaha sebisa mungkin
menghindari yang dimakruhkan atau malah hal-hal yang masih di bolehkan (mubah).[4]
b.
Kelompok pertengahan (muqthasid), sedangkan golongan yang
kedua ini menurut Zuhayli, adalah golongan pertengahan. Mereka merupakan
orang-orang yang mengerjakan kebijakan-kebijakan agama dan meninggalkan yang
diharamkan dan kurang tanggap terhadap kebaikan yang dianjurkan (sunah).[5]
c.
Kelompok yang menzalimi dirisendiri (zhalim linafsi) adalah
kelompok yang sedang melampaui batasan-batasan agama, kerap melakukan
larangan-laranan agama.[6]
Menurut alqa’i, kelompok ini yang justuru paling bayak ditemukan dalam
masyarakat.[7]
3.
Pengelompokkan Mad’u Berdasarkan Kemampuannya
Menagkap Pesan Dakwah
Adapun pengelompokkan mad’u berdasarkan
1.kemampuannya dalam menangkap pesan dakwah, dalam hal ini
berdasarkan orang yang sering bersinggungan dengan kebenaran dikarenakan
pengetahuannya yang mendalam. Kelompok ini terdiri dari para sarjana, pemikir
dan ilmuan.
2. kelompok manusia yang tidak mampu mengendifikasi
kebenaran kecuali setelah melewati proses dialektika dan sintesis. Kelompok ini
terdiri dari mereka yang memiliki pengetahuan namun tidak sampai mendasar.
Dengan kata lain, mereka inilah kelompok yang sedang menelururi dan mencari
hakikat kebenaran.
3. kelompok yang hanyamampu menegendifikasi kebenaran dalam
bentuk-bentuknya yang umum dasn parsial (common
sense). Mereka itulah yang disebut kelompok awam (kebanyakan orang) dan
merekamenempati jumlah terbesar diantara kelompok manuasia lainnya.
Dalam kategori ini, mad’u dikelompokkan secara hierarkis
dimulai dari kelompok elit hingga lepel bawah. Demikian itu, karena kemampuan
seseorang untuk menagkap pesan dakwah terkait erat dengan kedalamannya memahami
agama secara hakikatnya. Memulai cara pandang ini, filsuf kenamaan Ibn Rusd
mengkategorikan manusia dalam tiga kelompok, ahl al-burhan, ahl al-jidal, dan ahl-kitab. Dalam penyelasannya terhadap kelompok pertama, Ibn Rusyd
menyebutkan sebagai representasi dari pemuka agama yang umum dikenal dengan
sebutan ulama atau burhani, yaitu mereka dalam menagkap pesan-pesan dakwah
didekati dengan mengajuhkan bukti-bukti demonstratif yang tak terbantahkan.[8]
Kelompok ahl-Jidal,
adalah kelompok mad’u menengah
terkait dengan tingkat pemahamman agamanya. Dlam menerima pesan dakwah mereka
belum mampu menyingkap hakikat-hakikat terdalam agama, dan baru cukup didekati
dengan dialog (jadal) melalui adu
argumrntasi. Sedangkan kelompok ahl al
khitab, menurut Ibn Rusyd, adalah kelompok terbanyak dalam masyarakat.
Karena tingkat pemahamman agamanya sangat rendah, kelompok mad’u ini tidak
terkait kepada pendekatan-pendekatan dialektis dan belim mampu memahami hakikat
terdalam agama. Untuk itu, cara retorik (Khitaby)
melalaui tutur kata dan nasihat yang baik dalam menyampaikan pesan dakwah
dipandang sebagai jalan yang paling bijak.[9]
4.
Kategori Mad’u Menurut Keyakinannya
Dakwah diakui sebagai ajakan universal, artinya ajakan
dakwah tidak dibatasi hanya kepada kelompok tertentu dan tidak yang lainnya.
Terkait dengan aneka ragam keyakinan manusia di muka bumi, dakwah juga memiliki
kepentingan untuk menarik orang kejalan kepentingan untuk mrnarik orang kejalan
Tuhan. Untuk itu, tentu saja dakwah dituntut untuk menyiapkan sterategi yang
berbeda ketika dihadapkan dengan para kelompok mad’u yang beragama Islam dan
mad’u yang tidak beragama Islam. Tiga kategori mad’u yang penulis telah
paparkan, sebetulnya dimaksud untuk memilih-milih tipe mad’u yang masuk dalam
kelompok mad’u muslim. Dalam ruang diskusi ini, secara singkat penulis akan
memaparkan mengenai kelompok mad’u yang kedua, yaitu kelompok nonmuslim.
Dalam al-qur’an, nonmuslim dalam artian mereka yang tidak
mengimani Muhammad sebagai Rasul, juga digolongkan dalam banyak kelompok,
misalnya ahl al-kitab, musyirikin dan kafirun. Menurut Abdul Moqsith Gazali
dalam kajiannya tentang al-qur’an, kelompok musyirikun, sejauh pengguna istilah
al-qur’an, disebut untuk mewakili kaum pagan Quraish yang tidak mengimani
Muhammad sebagai Rasul dan tidak memiliki pegangan kitab suci pun.[10]
Adapun kelompok kafirun, disebut untuk menunjuk kepada mereka yang gemar
menutup-nutupi kebenaran dan memutarbalikkan fakta, baik dari golongan
musyirikun maupun ahl-Kitab.[11]
Khusus terkait dengan golonga tersebut terakhir, dalam tinjuan ulama ditemukan
polemik yang tidak mudah untuk dikompromikan. Dalam bahasan ini, penulis
menilai pendapat yang menyatakan bahwa ahl-kitab sebagai semua kelompok
agama-agama di dunia yang memiliki pedoman kitab suci dan tidak terbatas pada
penganut Nasrani dan Yahudi adalah yang dapat dipertanggung jawabkan.[12]
Sejauh pandangan al-qur’an tentang kelompok ahl-kitab,
begitu Moqsith menjelaskan, adalah lebih positif ketimbang pandangan al-qur’an
tentang musyirikun. Demikian, karena itu dinilai sebagai kelompok yang beriman
kepada para rasul dan memiliki pandangan hidup Islam, (dalam artian pasrah
kepada Tuhan semesta alam) seperti terejawantahkan dalam ajaran kitab suci
mereka, walaupun mereka tidak memiliki keyakinan Islam par excelence.[13]
Penilaian tersebut, secara objektif, juga disertai oleh kritik dan keamaan
al-qur’an terhadap sikap-sikap tertentu yang dinlai telah menyimpang dari
pandangan hidup yang benar.[14]
Begitupun al-quran melalui ayat-ayatnya masih menaruh simpati terhadap kelompok
ahl al-Kitab dikarenakan banyaknya sisi kesamaan mereka denga orang-orang
beriman pengikut nabi Muhammad.[15]
Melalui pandangan yang positif dan optimis itu, al-qur’an sejatinya menarh
kepercayaan besar pada kelompok ahl al-kitab dan menghidupkan gelobal yang
lebih bermakna dan bernilai. Adapun pandangan-pandangan negatifyang keras
terhadap ahl kitab yang selama ini terdengar, sebetulnya lahir belakangan
bersama dengan sejarah dinamika perkembangan agama-agama yang menurut
orientalis Bernard Lewis, lebih disebabkan oleh faktor kesamaan antara
agama-agama itu ketimbang perbedaannya.[16]
Terkait dengan dakwah, pemaparan mengenai ahl al-kitab
kiranya sebagai representatif dari kelompok mad’u nonmuslim, diharapkan mampu
memberikan pandangan bijak dalam menyampaikan pesan dakwah. Sebagai objek
dakwah, di satu sisi kelompok mad’u boleh dibilang secara instiristik telah
memiliki sikap “Islam” (berkebutuhan
yang Maha Esa) seperti Tersurat dalam ajaran kitab suci mereka, di sisi yang lain mereka seperti
pemaparan agama al-qur’an tidak lepas dasri penyimpangan-penyimpangan pandangan
hidup yang benar. Gambaran inilah yang akan menjadi dasar pijakan dalam pilihan
metode dakwah terhadap ahl al-kitab.
Terakhir, mata juga tidak menutup mata terhadap kemungkinan
sekelompokk manusia yang gemar mengingkari kebenaran atau malah berubah melawan
kebenaran itu, sukar diajak berdamai atau bekerja sama dan melulu mengingkari
kesepakatan. Mereka senang tiasa mengingkari kebenaran orang untuk berdakwah
dan berusaha menghalang-halangi orang untuk menerima kebenaran.
Kelompok mad’u ini
yang disebut kelompok kafir (Harbi)
yang dapat eksis dalam setiap kelompok/pengnut agama. Terhadap mereka itu, da’I
tidak dianjurkan untuk menunjukkan sikap persahabatan dalam menyampaikan
kebenaran. Lebih dari itu, adalah sikap tegas (al-ghilz) dan tegas (tasydid),
bukan lagi tablig dan pertemanan (al-rifq).
PENUTUP
E.
Kesimpulan
Dapat dipahami bahwa kelasifikasi mad’u atau sasaran dakwah
secara umum adalah seluruh manusia, dan objek dakwah secara khusus dapat
ditinjau dari berbagai aspek. Secara khusus sebagai berikut :
- Aspek usia : anak-anak, remaja dan orang tua
- Aspek kelamin : Laki-laki dan Perempuan
- Aspek agama : Islam dan kafir atau non muslim
- Aspek sosiologis : masyarakat terasing, pedesaan, kota keci dan kota besar, serta masyarakat marjinal dari kota besar
- Aspek struktur kelembagaan : Priyayi, abangan dan santri
- Aspek ekonomi : Golongan kaya, menengah,dan miskin
- Aspek mata pencaharian : Petani,peternak, pedagang,nelayan,pegawai,dll
- Aspek khusus : Golongan masyarakat tuna susila, tuna netra, tuna rungu, tuna wisma
- Islam atau non islam.
Masyarakat
sebagai objek dakwah atau sasaran dakwah merupakan salah satu unsur yang
penting dalam sistem dakwah yang tidak kalah peranannya dibandingkan dengan
unsur unsur dakwah yang lain, oleh sebab itu masalah masyarakat ini seharusnya
di pelajari dengan sebaik-baiknya sebelum melangkah ke aktivitas dakwah yang
sebenarnya agar dakwah yang kita sampaikan labi terarah dan mengenah ketujuan
dakwah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme
Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Jakarta:Kata Kita, 2009),
Bachtiar
Wardi, Metode Penelitian Ilmu Dakwah, Jakarta: Logos, 1997
Muhammad
Abu Fath Al-Bayanun, Nasihat untuk para Da’I, cet 1, Surakarta: indiva
pustaka, 2008
Syarif
Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Jakarta: Djambatan, 1992
Saputra
Wahidin, Pengantar Ilmu Dakwah,jilid 1(jakarta: raja grafindo persada, 2011
Saputra
Wahidin, retorika monologika: kiat dan tips praktis menjadi muballig,
bogor: titian nusa press, 2010
Wahbah
al-Zuhayli, Tafsir al-Munir Fi al-Aqidah
wa al-Syariah wa al-Manhaj, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Muashir, 1997), Juz
22
[1]
[1]
Wahidin saputra, retorika monologika: kiat dan tips praktis menjadi muballig,(bogor:
titian nusa press, 2010), hlm.5-6
[2]
QS. Fathir: 32
[3]
Abdul Karim Zaidan
[4]
Wahbah al-Zuhayli, Tafsir al-Munir Fi
al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Muashir,
1997) Juz 22, hal 266
[5]
Ibid. bandingkan dengan al-Razi yang mendeskripkasikan kelompok ini sebagai
yang gemar mencampurkan amalan baik dan buruk sekaligus (huwa alladzi khalata amalan salihan wa akhar sayyin). Lihat Fakh
al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghaib al-syahir bi Tafsir al-Kabir, (Mauqi’
al-Tafsir), Juz 12, hal 459
[6]
Ibid
[7]
Ibrahim Ibn ‘Umar Abu Bakar al-Baqa’iy, Nazm
al-Durar li Tanasub al-Ayat wa al-Suar, (Mauqi’ al-Tafsir), Juz 7, hal 479
[8]
Abu al-Wahid Ibn Muhammad Ibn Rusyd al Qurtuby, Fasl al-Maqal Fi Ma Bain al-Hikmah wa al-Syariah min al-Ittisal,
(Kairo: dar al-Ma’arif), Cet ketiga, hal 31
[9]
Ibid
[10]
Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme
Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Jakarta:Kata Kita, 2009),
hal 318
[11]
Ibid, hal 302
[12]
Ibid, hal 275-277
[13]
QS. An-Nisah/4:171
[14]
QS. Ali-Imran/3
[16]
Bernard Lewis, the Crisis Of Islam,
(New York: The Moderen Library, 2003) hal 74
Tidak ada komentar:
Posting Komentar