Minggu, 01 Juni 2014

KELASIFIKASI MAD'U


MAKALAH
“KELASIFIKASI MAD’U”
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas UAS
Mata Kuliah: Filsafat Dakwah
Dosen Pengampu: Drs. Miftahuddin M.Si








Oleh      :  Naharuddin
Jurusan :  Dakwah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

LUQMAN AL-HAKIM SURABAYA

 TAHUN AJARAN 2014/2015

 

BAB I
PENDAHULUAN

Mad’u adalah objek dakwah bagi seorang da’i yang bersifat individual, kolektif, atau masyarakat umum. Masyarakat sebagai objek dakwah atau sasaran dakwah merupakan salah satu unsur yang penting dalam sistem dakwah yang tidak kalah peranannya dibandingkan dengan unsur unsur dakwah yang lain oleh sebab itu masalah masyarakat ini seharusnya di pelajari dengan sebaik-baiknya sebelum melangkah ke aktivitas dakwah yang sebenarnya. Maka dari itu sebagai bekal dakwah dari seorang da’i atau muballig hendaknya memperlengkapi dirinya dengan beberapa pengetahuan dan pengalaman yang erat hubungannya dengan masalah masyarakat.[1]
Para Da'i tidak cukup hanya mengetahui objek dakwah secara umum dan secara khusus tersebut, tetapi yang lebih penting lagi yang harus diketahui adalah hakikat objek dakwah atau sasaran dakwah itu sendiri. Adapun hakikat objek dakwah adalah seluruh dimensi problematika hidup objek dakwah, baik problem yang berhubungan dengan aqidah, ibadah, akhlaq, mu'amalah, pendidikan, sosial, ekonomi, politik, budaya, dll.
Proses dakwah sulit berhasil tanpa adanya analisa terhadap sasaran dakwahnya terlebih dahulu. Sebagaimana diketahui, manusia bukanlah benda mati yang dapat diatur dan dibentuk tanpa mengadakan respons balik. Tetapi manusia adalah makhluk hidup dengan segala esensinya, memiliki akal, hati dan perasaan, juga memiliki kehendak dan cita-cita, selain akal yang dapat menilai mana yang baik dan harus diikuti dan mana yang tidak baik yang harus dijauhkan. Semua potensi ini merupakan realitas manusia yang dihadapi oleh da’wah sehingga da’wah harus mempertimbangkan siapa mad’unya, apa kecenderungan dan permasalahan yang dialami. Semuanya dikenal dengan analisis sosial.
Keberhasilan dakwah akan sangat bergantung kepada bagaimana da’i tersebut berdakwah. Tidak hanya penguasaan materi yang diluar kepala, kemampuan dai dalam mengenal dan memahami ilmu dakwah pun sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dakwah itu sendiri. Salah satu anasir ilmu dakwah tersebut ialah membahas tentang strata Mad’u, tipologi Mad’u dan Sasaran-nya.

BAB II
PEMBAHASAAN
 Klasifikasi Mad’u
Secara mendasar klasifikasi, mad’u ini tidak ada hubungannya dengan memetak-metak kelompok ataupun pengkastaan golongan manusia atas manusia lainnya. Lebih dari itu, pengklasifikasian mad’u memilii maksud tersendiri yakni untuk memperoleh pengetahuan tentang karakter-karakter yang khas dimiliki oleh suatu kelompok  mad’u tertentu yang tidak terdapat pada lainnya.
      Ada banyak Ulama yang menjelaskan tentang sasaran atau orang-orang yang perlu di dakwahi namun penulis mencoba mengambil beberapa pendapat yang di anggap penting dan utama dalam makala ini :
Menurut Muhamkmad Abu Fath Al-Bayanun Dakwah itu ditujukan untuk orang  kafir agar masuk islam, juga di tujukan kepada muslim untuk memperbaiki keislaman mereka serta meningkatkan keimanan mereka. Kalau orang-orang kafir di seru itu terdiri dari berbagai macam jenis dan modelnya, demikina juga objek dakwah dari kalangan muslimin pun bermacam-macam.
Al-Quran telah mengisyaratkan bahwa muslimin itu terbagi menjadi tiga macam. Allah ta’ala berfirman :
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ  
kemudian kami mewariskan kitab itu kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba kami. Maka di natara mereka sendiri dan dikalangan mereka pun ada orang yang sedang-sedang da nada pula di antara mereka yang lebi dulu berbuat kebaikan dengan izin Allah, yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.”[2]



            Pengetahuan ini, secara lebih jauh sangat berguna untuk menentukan kebijakan dakwah tentang bagaimana cara mensikapi dan berinteraksi dengan masing-masing kelompok manusia tersebut. Sekaligus sebagai pengalaman atas nabi: “Khatib al-nas ala qadri uqulihim/ berkomunikasi dengan manusia setara dengan taraf penalaran mereka”.
            Dalam hubungannya dengan seruan dakwah,  ojek dakwah di sini digolongkan menurut empat kategori. Pertama, sikap mad’u terhadap seruan dakwah, kedua, antusiasanya kepada dakwah, ketiga kemampuan dalam memahami dan menangkap pesan dakwah, dan keempat, kelompok mad’u berdasarkan keyakinan.
1.      Klasifikasi Mad’u Menurut Sikapnya terhadap Dakwah.
Pakar dakwah abdul Karim Zaidan[3] dalam buku Ushul al-Dakwah, mengolompokkan manusia dalam empat ketegori berdasarkan sikapnya terhadap dakwah. Empat kategori dakwah yang dimaksud secara berturut-turut adalah;
1.       al-mala (pembuka masyarakat), yaitu kelompok manusia yang memegang wewengan atas keadilan masyarakat banyak;
2.      Jumhur al-anas (mayoritas manusia), mereka itu terdiri dari kelompok alit masyarakat yang memiliki kekuasaan penuh atas orang bayak;
3.      Munafiqun (orang0orang munafik) adalah tife kelompok oportunis yang menyembunyikan kekufuran di balik keislamannya. Menurut Zaidan, mereka itu biasanya ditemukan dalam stuasi ketika kebenaran telah menjadi opini publik dan keimanan telah menjadi identitas mayoritas;
4.      Al-usat (para Pendurhaka) adalah ketegori orang-orang yang masih bimbang dalam menerima kebenaran. Oleh karena itu iman mereka tidak tipis dinilai tidak cukup kuat untuk menahannya dari perbuatan-perbuatan maksiat, sekalipun telah menyatakaan keislamannya.
2.      Pengolompkkan Mad’u Berdasarkan Antusiasnya Kepada Dakwah
Mengenai sikap mad’u terhadap seruan dakwah, al-qur’an menyebutkan tiga kelompok Mad’u yaitu;
a.       Kelompok yang bersegerah dalam menerima kebenaran (al-sabiquna bi al-khirat). Menurut pakar tafsir kenamaan Wahbah al-Zuhayli yaitu golongan mad’u yang cenderung antusias pada kebaikan dan tanggap terhadap seruan-seruan dakwah baik sunnah apa lagi yang wajib. Sebaliknya dia amat takut mengerjakan hal-hal yang diharamkan agama, di sambing berusaha sebisa mungkin menghindari yang dimakruhkan atau malah hal-hal yang masih di bolehkan (mubah).[4]
b.      Kelompok pertengahan (muqthasid), sedangkan golongan yang kedua ini menurut Zuhayli, adalah golongan pertengahan. Mereka merupakan orang-orang yang mengerjakan kebijakan-kebijakan agama dan meninggalkan yang diharamkan dan kurang tanggap terhadap kebaikan yang dianjurkan (sunah).[5]
c.       Kelompok yang menzalimi dirisendiri (zhalim linafsi) adalah kelompok yang sedang melampaui batasan-batasan agama, kerap melakukan larangan-laranan agama.[6] Menurut alqa’i, kelompok ini yang justuru paling bayak ditemukan dalam masyarakat.[7]
3.      Pengelompokkan Mad’u Berdasarkan Kemampuannya Menagkap Pesan Dakwah
Adapun pengelompokkan mad’u berdasarkan
1.kemampuannya dalam menangkap pesan dakwah, dalam hal ini berdasarkan orang yang sering bersinggungan dengan kebenaran dikarenakan pengetahuannya yang mendalam. Kelompok ini terdiri dari para sarjana, pemikir dan ilmuan.
2. kelompok manusia yang tidak mampu mengendifikasi kebenaran kecuali setelah melewati proses dialektika dan sintesis. Kelompok ini terdiri dari mereka yang memiliki pengetahuan namun tidak sampai mendasar. Dengan kata lain, mereka inilah kelompok yang sedang menelururi dan mencari hakikat kebenaran.
3. kelompok yang hanyamampu menegendifikasi kebenaran dalam bentuk-bentuknya yang umum dasn parsial (common sense). Mereka itulah yang disebut kelompok awam (kebanyakan orang) dan merekamenempati jumlah terbesar diantara kelompok manuasia lainnya.
Dalam kategori ini, mad’u dikelompokkan secara hierarkis dimulai dari kelompok elit hingga lepel bawah. Demikian itu, karena kemampuan seseorang untuk menagkap pesan dakwah terkait erat dengan kedalamannya memahami agama secara hakikatnya. Memulai cara pandang ini, filsuf kenamaan Ibn Rusd mengkategorikan manusia dalam tiga kelompok, ahl al-burhan, ahl al-jidal, dan ahl-kitab. Dalam penyelasannya terhadap kelompok pertama, Ibn Rusyd menyebutkan sebagai representasi dari pemuka agama yang umum dikenal dengan sebutan ulama atau burhani, yaitu mereka dalam menagkap pesan-pesan dakwah didekati dengan mengajuhkan bukti-bukti demonstratif yang tak terbantahkan.[8]
Kelompok ahl-Jidal, adalah kelompok mad’u menengah terkait dengan tingkat pemahamman agamanya. Dlam menerima pesan dakwah mereka belum mampu menyingkap hakikat-hakikat terdalam agama, dan baru cukup didekati dengan dialog (jadal) melalui adu argumrntasi. Sedangkan kelompok ahl al khitab, menurut Ibn Rusyd, adalah kelompok terbanyak dalam masyarakat. Karena tingkat pemahamman agamanya sangat rendah, kelompok mad’u ini tidak terkait kepada pendekatan-pendekatan dialektis dan belim mampu memahami hakikat terdalam agama. Untuk itu, cara retorik (Khitaby) melalaui tutur kata dan nasihat yang baik dalam menyampaikan pesan dakwah dipandang sebagai jalan yang paling bijak.[9]
4.      Kategori Mad’u Menurut Keyakinannya
Dakwah diakui sebagai ajakan universal, artinya ajakan dakwah tidak dibatasi hanya kepada kelompok tertentu dan tidak yang lainnya. Terkait dengan aneka ragam keyakinan manusia di muka bumi, dakwah juga memiliki kepentingan untuk menarik orang kejalan kepentingan untuk mrnarik orang kejalan Tuhan. Untuk itu, tentu saja dakwah dituntut untuk menyiapkan sterategi yang berbeda ketika dihadapkan dengan para kelompok mad’u yang beragama Islam dan mad’u yang tidak beragama Islam. Tiga kategori mad’u yang penulis telah paparkan, sebetulnya dimaksud untuk memilih-milih tipe mad’u yang masuk dalam kelompok mad’u muslim. Dalam ruang diskusi ini, secara singkat penulis akan memaparkan mengenai kelompok mad’u yang kedua, yaitu kelompok nonmuslim.
Dalam al-qur’an, nonmuslim dalam artian mereka yang tidak mengimani Muhammad sebagai Rasul, juga digolongkan dalam banyak kelompok, misalnya ahl al-kitab, musyirikin dan kafirun. Menurut Abdul Moqsith Gazali dalam kajiannya tentang al-qur’an, kelompok musyirikun, sejauh pengguna istilah al-qur’an, disebut untuk mewakili kaum pagan Quraish yang tidak mengimani Muhammad sebagai Rasul dan tidak memiliki pegangan kitab suci pun.[10] Adapun kelompok kafirun, disebut untuk menunjuk kepada mereka yang gemar menutup-nutupi kebenaran dan memutarbalikkan fakta, baik dari golongan musyirikun maupun ahl-Kitab.[11] Khusus terkait dengan golonga tersebut terakhir, dalam tinjuan ulama ditemukan polemik yang tidak mudah untuk dikompromikan. Dalam bahasan ini, penulis menilai pendapat yang menyatakan bahwa ahl-kitab sebagai semua kelompok agama-agama di dunia yang memiliki pedoman kitab suci dan tidak terbatas pada penganut Nasrani dan Yahudi adalah yang dapat dipertanggung jawabkan.[12]
Sejauh pandangan al-qur’an tentang kelompok ahl-kitab, begitu Moqsith menjelaskan, adalah lebih positif ketimbang pandangan al-qur’an tentang musyirikun. Demikian, karena itu dinilai sebagai kelompok yang beriman kepada para rasul dan memiliki pandangan hidup Islam, (dalam artian pasrah kepada Tuhan semesta alam) seperti terejawantahkan dalam ajaran kitab suci mereka, walaupun mereka tidak memiliki keyakinan Islam par excelence.[13] Penilaian tersebut, secara objektif, juga disertai oleh kritik dan keamaan al-qur’an terhadap sikap-sikap tertentu yang dinlai telah menyimpang dari pandangan hidup yang benar.[14] Begitupun al-quran melalui ayat-ayatnya masih menaruh simpati terhadap kelompok ahl al-Kitab dikarenakan banyaknya sisi kesamaan mereka denga orang-orang beriman pengikut nabi Muhammad.[15] Melalui pandangan yang positif dan optimis itu, al-qur’an sejatinya menarh kepercayaan besar pada kelompok ahl al-kitab dan menghidupkan gelobal yang lebih bermakna dan bernilai. Adapun pandangan-pandangan negatifyang keras terhadap ahl kitab yang selama ini terdengar, sebetulnya lahir belakangan bersama dengan sejarah dinamika perkembangan agama-agama yang menurut orientalis Bernard Lewis, lebih disebabkan oleh faktor kesamaan antara agama-agama itu ketimbang perbedaannya.[16]


Terkait dengan dakwah, pemaparan mengenai ahl al-kitab kiranya sebagai representatif dari kelompok mad’u nonmuslim, diharapkan mampu memberikan pandangan bijak dalam menyampaikan pesan dakwah. Sebagai objek dakwah, di satu sisi kelompok mad’u boleh dibilang secara instiristik telah memiliki sikap “Islam”  (berkebutuhan yang Maha Esa) seperti Tersurat dalam ajaran kitab suci  mereka, di sisi yang lain mereka seperti pemaparan agama al-qur’an tidak lepas dasri penyimpangan-penyimpangan pandangan hidup yang benar. Gambaran inilah yang akan menjadi dasar pijakan dalam pilihan metode dakwah terhadap ahl al-kitab.
Terakhir, mata juga tidak menutup mata terhadap kemungkinan sekelompokk manusia yang gemar mengingkari kebenaran atau malah berubah melawan kebenaran itu, sukar diajak berdamai atau bekerja sama dan melulu mengingkari kesepakatan. Mereka senang tiasa mengingkari kebenaran orang untuk berdakwah dan berusaha menghalang-halangi orang untuk menerima kebenaran.
Kelompok mad’u  ini yang disebut kelompok kafir (Harbi) yang dapat eksis dalam setiap kelompok/pengnut agama. Terhadap mereka itu, da’I tidak dianjurkan untuk menunjukkan sikap persahabatan dalam menyampaikan kebenaran. Lebih dari itu, adalah sikap tegas (al-ghilz) dan tegas (tasydid), bukan lagi tablig dan pertemanan (al-rifq).















PENUTUP
E.     Kesimpulan
Dapat dipahami bahwa kelasifikasi mad’u atau sasaran dakwah secara umum adalah seluruh manusia, dan objek dakwah secara khusus dapat ditinjau dari berbagai aspek. Secara khusus sebagai berikut :
  1. Aspek usia : anak-anak, remaja dan orang tua
  2. Aspek kelamin : Laki-laki dan Perempuan
  3. Aspek agama : Islam dan kafir atau non muslim
  4. Aspek sosiologis : masyarakat terasing, pedesaan, kota keci dan kota besar, serta masyarakat marjinal dari kota besar
  5. Aspek struktur kelembagaan : Priyayi, abangan dan santri
  6. Aspek ekonomi : Golongan kaya, menengah,dan miskin
  7. Aspek mata pencaharian : Petani,peternak, pedagang,nelayan,pegawai,dll
  8. Aspek khusus : Golongan masyarakat tuna susila, tuna netra, tuna rungu, tuna wisma
  9. Islam atau non islam.
Masyarakat sebagai objek dakwah atau sasaran dakwah merupakan salah satu unsur yang penting dalam sistem dakwah yang tidak kalah peranannya dibandingkan dengan unsur unsur dakwah yang lain, oleh sebab itu masalah masyarakat ini seharusnya di pelajari dengan sebaik-baiknya sebelum melangkah ke aktivitas dakwah yang sebenarnya agar dakwah yang kita sampaikan labi terarah dan mengenah ketujuan dakwah.










DAFTAR PUSTAKA
Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Jakarta:Kata Kita, 2009),
Bachtiar Wardi, Metode Penelitian Ilmu Dakwah, Jakarta: Logos, 1997
Muhammad Abu Fath Al-Bayanun, Nasihat untuk para Da’I, cet 1, Surakarta: indiva pustaka, 2008
Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Jakarta: Djambatan, 1992
Saputra Wahidin, Pengantar Ilmu Dakwah,jilid 1(jakarta: raja grafindo persada, 2011
Saputra Wahidin, retorika monologika: kiat dan tips praktis menjadi muballig, bogor: titian nusa press, 2010
Wahbah al-Zuhayli, Tafsir al-Munir Fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Muashir, 1997), Juz 22





[1] [1] Wahidin saputra, retorika monologika: kiat dan tips praktis menjadi muballig,(bogor: titian nusa press, 2010), hlm.5-6
[2] QS. Fathir: 32
[3] Abdul Karim Zaidan
[4] Wahbah al-Zuhayli, Tafsir al-Munir Fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Muashir, 1997) Juz 22, hal 266
[5] Ibid. bandingkan dengan al-Razi yang mendeskripkasikan kelompok ini sebagai yang gemar mencampurkan amalan baik dan buruk sekaligus (huwa alladzi khalata amalan salihan wa akhar sayyin). Lihat Fakh al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghaib al-syahir bi Tafsir al-Kabir, (Mauqi’ al-Tafsir), Juz 12, hal 459
[6] Ibid
[7] Ibrahim Ibn ‘Umar Abu Bakar al-Baqa’iy, Nazm al-Durar li Tanasub al-Ayat wa al-Suar, (Mauqi’ al-Tafsir), Juz 7, hal 479
[8] Abu al-Wahid Ibn Muhammad Ibn Rusyd al Qurtuby, Fasl al-Maqal Fi Ma Bain al-Hikmah wa al-Syariah min al-Ittisal, (Kairo: dar al-Ma’arif), Cet ketiga, hal 31
[9] Ibid
[10] Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Jakarta:Kata Kita, 2009), hal 318
[11] Ibid, hal 302
[12] Ibid, hal 275-277
[13] QS. An-Nisah/4:171
[14] QS. Ali-Imran/3
[16] Bernard Lewis, the Crisis Of Islam, (New York: The Moderen Library, 2003) hal 74

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar