Jumat, 31 Oktober 2014

Hubungan Suami - Istri


Hubungan Suami - Istri
Apakah setiap pasangan diharuskan untuk memikul tanggung jawab keluarga yang lain?
Adanya pernikahan tidak mengakibatkan suami atau istri diharuskan memikul tanggung jawab-tanggung jawab baik secara yuridis (qanuniyyah) atau secara syar'i terhadap keluarga pasangan yang lain. Namun, adanya hubungan suami dengan keluarganya dan hubungan istri dengan keluarganya merupakan hal yang alami. Maka, campur tangan salah seorang dari kedua pasangan untuk memisahkan teman hidupnya (istri atau suami-pent.) dari keluarganya, akan menyebabkan timbulnya kompleksitas hubungan antara suami dan istri, sebab pihak yang terluka dari keterpisahan ini, yaitu keluarga, akan memberontak dengan cara-cara yang boleh jadi akan menyakiti hubungan suami-istri. Oleh karena itu, hendaklah masing-masing pasangan menganggap bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat teman hidupnya, di mana suami menjadi bagian dari keluarga istri, dan istri menjadi bagian dari keluarga suami. Masalah ini menuntut keinginan mereka untuk menjalani kehidupan rumah tangga bersama dan kecintaan di antara masing-masing mereka, karena kehidupan suami-istri tegak berdasarkan penghormatan timbal balik atas perasaan setiap pasangan dan hubungan emosional serta sosialnya. Kami memetik hal itu dari firman-Nya swt, "Dan di antara tanda- tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang." (QS. ar-Rum: 21)

Rasa tenteram ( al-mawaddah) mengharuskan si suami dan istri untuk saling terbuka dalam perasaan mereka masing-masing dan hendaklah setiap dari mereka menghargai perasaan yang lain, baik perasaan itu berhubungan dengan pribadi masing-masing mereka atau berkaitan dengan hubungan emosional dengan orang- orang lain. Kata rahmat ( ar-rahmah) mengisyaratkan bahwa hendaklah setiap mereka harus menyayangi (mengerti) kondisi-kondisi pihak yang lain, di mana si istri menghargai komitmen suaminya untuk menjaga kedua orang tuanya dan penghormatannya atas perasaan mereka berdua, meskipun perasaan mereka berdampak negatif terhadapnya (istri), selama penjagaan itu tidak memberatkan hubungan suaminya dengannya. Sebaliknya, hendak- lah suami menghormati perasaan istrinya terhadap ibu dan bapaknya, saudara-saudara laki-lakinya, saudari-saudari perempuannya, serta sanak kerabatnya. Hendaklah dia (suami) tidak berusaha mengucilkan istrinya dari mereka (keluarga) , dan tidak bersikap kasar dengan melarangnya untuk mengunjungi mereka atau melarang mereka untuk mengunjungi istrinya karena dia merasa memiliki hak dalam hal itu berdasarkan sebagian fatwa yang memberinya hak penuh dalam masalah seperti ini.
Hendaklah suami-istri mengetahui bahwa masing-masing mereka mempunyai perasaan dan emosi yang terkait dengan keadaan khusus, dan hendaklah setiap mereka menghormatinya.

Dalam keadaan di mana keluarga salah seorang dari mereka (suami-istri) mempengaruhi secara negatif atas anak-anak dan hubungan di antara suami-istri, bagaimana sikap yang harus diambil?

Kepedulian masing-masing suami-istri terhadap hubungan emosional dan sosial yang mengikat pasangannya dengan lingkungannya merupakan norma umum yang harus dihormati. Tetapi, jika hubungan suami-istri dengan keluarga siapa pun dari mereka ternyata membahayakan agama, akhlak, atau kesehatan, atau bentuk bahaya apa pun yang mengancam kedua pasangan atau anak-anak mereka, maka dalam keadaan seperti ini bahaya tersebut harus dihindari, dengan mengambil langkah-langkah preventif yang sesuai dengan kadar dan tingkat bahaya itu yang dihawatirkan terjadi, sehingga mereka beserta anak-anak mereka terhindar darinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar