Rabu, 11 Maret 2015

INTEGRASI ILMU DAN ISLAMISASI ILMU

INTEGRASI ILMU DAN ISLAMISASI ILMU


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul menyamai orang-orang barat apabila mampu mentransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Dipandang dari sisi aksiologis ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya. Dengan demikian, ilmu dan teknologi haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan bukan sebaliknya.
Untuk mencapai sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu keislaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut tidak bebas nilai atau sekuler. Pendekatan interdisciplinary dan inter koneksitas antara disiplin ilmu agama dan umum perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa henti.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Klasifikasi Ilmu

Kategorisasi ilmu dalam Islam bersifat hierarkis tidak dikotomis.Dilihat dari kegunaannya bagi manusia, ilmu pengetahuan dibagi menjadi ilmu yang baik (al-mahmudah) dan tidak baik (al-madzmumah).Ilmu madzmumah seperti ilmu perbintangan atau ilmu-ilmu pemikiran sesat.Menurut al-Ghazali, kendatipun ilmu ini tidak baik, hendaknya ada sekelompok ilmuan Muslim untuk mempelajarinya.Bukan untuk mengamalkan ilmu tersebut, tetapi untuk menjaga orang awam dari kerancuan.[1]
Secara umum, ilmu dalam Islam tidak memisahkan antara ilmu, iman dan amal. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Hazm, ilmu dan iman berasal dari Tuhan untuk tujuan yang sama, yaitu menerima secara totalitas kebajikan sebagaimana ditentukan Tuhan dalam al-Qur’an dan Hadis. Karena itu, ilmu yang ber-worldview sekuler harus diislamkan.
Al-Attas memahami sumber-sumber ilmu dengan  merangkum dari beberapa arus pemikiran keilmuan para ulama, mulai dari para ulama mutkallimin, ulama tasawwuf, dari ulama falsafah, seperti al-Nasafi, Ibn Arabi, al-Ghazali, Ibn Sina dan lain-lain. Maka bagi al-Attas, manusia boleh mendapatkan ilmu itu melalui: informasi yang benar (khabar shadiq), intuition (hads dan ilham), intelek (’aql), dan indera (hawas).

B.      Proses Pengislaman Ilmu

Proses islamisasi itu bukan sekedar memasukkan dalil naqli ke dalam sains, akan tetapi yang diislamkan adalah, basis filosofisnya, metode berpikir, atau konsep yang dianggap menafikan metafisik atau bertentangan dengan konsep-konsep Islam. Di sinilah peran epistemologi sangat mendasar.
Menurut Dr. Ugi, apa yang dikatakan pengislaman di antaranya dewesternization of knowledge. Membuang unsur-unsur Barat yang menyelimuti ilmu-ilmu kontemporer.[2]
Membuang unsur-unsur sofisme, rasionalisme, postivisme dalam bangaunan Ilmu pengetahuan sebagai metodologi meraih ilmu.Setelah unsur-unsur tersebut dibuang, maka kita memasukkan prinsip-prinsip epistemologi Islam. Menurut al-Attas, Islamisasi ilmu dengan pengujian kritis terhadap metode-metode sains modern, konsep-konsep, anggapan-anggapan, Teorinya tentang alam semesta; interpretasinya tentang asal-usul Alam; Rasionalitas proses-proses alam, pemikirannya tentang eksistensi dunia nyata, klasifikasinya tentang ilmu; batasan-batasannya dan kaitannya antara satu ilmu dengan ilmu-ilmu lain, dan hubungan sosialnya.
Islamisasi ilmu pengetahuan meniscayakan sebuah konstruk dan prinsip epistemologi Islam sebagai dasarnya.Westernisasi ilmu masuk pada aspek paradigma dan epistemologi.Karena itu, proyek Islamisasi tidak bisa menafikan epistemologi yang berdasarkan pandangan alam Islam. Tanpa itu, proyek akan sia-sia dan ke depannya akan memunculkan masalah paradigmatis. Kegagalan proyek islamisasi dan kesalahfahaman tentang islamisasi disebabkan karena menyederhanakan dengan hanya menambah dalil-dalil Islam.Padahal, yang diislamkan adalah pandangan alamnya yang di dalamnya mengandung epistemologi.

C.       Pengertian Islamisasi dan Integrasi Ilmu
Menurut KBBI, integrasi adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.[3]Salah satu istilah yang paling populer dipakai dalam konteks integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum adalah kata Islamisasi.Menurut Echols dan Hasan Sadiliy, kata Islamisasi berasal dari bahasa inggris “Islamization” yang berarti pengislaman.Dalam kamus Webster, Islamisasi bermakna to bring within Islam. Makna yang lebih luas adalah menunjuk pada proses pengislaman, dimana objeknya adalah orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun objek lainnya.[4]
Konsep integrasi ilmu, dalam Islam disandarkan pada prinsip tauhid.Kalimat tauhid secara konvensional diartikan sebagai tiada tuhan selain Allah.Kalimat ini adalah dasar dari keislaman seseorang. Bagi para filosof muslim, kalimat tauhid ini mengindikasikan bahwa Allah merupakan dzat yang simpel, tidak boleh tersusun oleh dari apapun kecuali oleh esensi dzat-Nya sendiri. Allah tidak mempunyai genus dan spesies, sehingga pada diri-Nya esensi dan eksistensi menyatu, tapi bukan satu.[5]
Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Faruqy, menghendaki adanya hubungan timbal balik antara realitas dan aspek kewahyuan.Dalam konteks ini, untuk memahami nilai-nilai kewahyuan, umat Islam harus memanfaatkan ilmu pengetahuan. Tanpa memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam upaya memahami wahyu, umat Islam akan terus tertinggal oleh umat lainnya. Karena realitasnya saat ini ilmu pengetahuanlah yang amat berperan dalam menentukan tingkat kemajuan umat manusia.[6]
D.      Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Attas
Al-Attas melihat bahwa ilmu pengetahuan yang ada ini tidak bersifat netral, sehingga ilmu pun tidak dapat berdiri bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidaklah bebas nilai (value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden).[7]
Ilmu yang ada ini sudah terbaratkan atau tersekulerkan.Pengetahuan dan ilmu yang tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah diwarnai corak budaya dan peradaban Barat.Pengetahuan yang disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan yang semu yang dilebur secara halus dengan yang sejati (the real) sehingga manusia yang mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan yang sejati.Karena itu, al-Attas memandang bahwa peradaban Barat tidak layak untuk dikonsumsi sebelum diseleksi terlebih dahulu.[8]
Kehidupan Barat yang bercirikan sekuler telah menjadikan sains (ilmu pengetahuan) sebagai satu-satunya pengetahuan yang bersifat otentik yang hanya dikaitkan dengan fenomena semata.Kriteria untuk mengukur sebuah kebenaran juga hanya berpatokan pada rasio.
Pandangan seperti itu muncul karena sains Barat tidak dibangun di atas wahyu.Ia dibangun di atas budaya yang diperkuat oleh spekulasi filosofis kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional.Akibatnya, ilmu pengetahuan, nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah.Inilah yang dikritisi oleh Al-Attas.Pandangan tersebut menurutnya tidak sesuai dengan epistimologi Islam.
Menurut al-Attas, pengetahuan Barat telah membawa kebingungan (confusion) dan skeptisisme (skepticism).Barat telah mengangkat sesuatu hal yang masih dalam keraguan dan dugaan ke derajat ilmiah dalam hal metodologi.Peradaban Barat juga memandang keragu-raguan sebagai suatu sarana epistimologis yang cukup baik dan istimewa untuk mengejar kebenaran.Tidak hanya itu, pengetahuan Barat juga telah membawa kekacauan pada tiga kerajaan alam yaitu hewan, nabati dan mineral.[9]
Padahal sejatinya, Islam telah memberi kontribusi yang sangat berharga pada peradaban Barat dalam bidang pengetahuan dan menanamkan semangat rasional serta ilmiah, meski diakui bahwa sumber asalnya juga berasal dari Barat sendiri, yakni dari para filosof Yunani. Namun berkat kegigihan usaha para sarjana dan cendekiawan muslim di masa klasik, warisan yunani tersebut dapat digali dan dikembangkan. Bahkan, pengetahuan-pengetahuan telah diaplikasikan untuk kesejahteraan umat manusia, setelah dilakukan usaha-usaha secara ilmiah melalui penelitian dan percobaan.Barat mengambil alih pengetahuan dan ilmu tersebut dari dunia Islam.Pengetahuan dan semangat rasional serta semangat ilmiah tersebut dibentuk dan dikemas kembali untuk disesuaikan dengan kebudayaan Barat sehingga lebur dan terpadu dalam suatu dualisme menurut pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai kebudayaan serta peradaban Barat.Menurut al-Attas, dualisme tidak mungkin diselaraskan karena terbentuk dari ide-ide, nilai-nilai, kebudayaan, keyakinan, filsafat, agama, doktrin, dan teologi yang bertentangan.[10]
Sedang kelahiran ilmu dalam Islam, menurut Al-Attas , didahului oleh tradisi intelektual yang tak lepas dari lahirnya pandangan hidup Islam yang bersumber dari al-Qur`an dan penjelasannya dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW).
Berdasar inilah, sains dalam Islam menempatkan wahyu sebagai sumber ilmu untuk alat ukur sebuah kebenaran akhir.Wahyu menjadi dasar bagi kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari sudat pandang rasionalisme dan empirisisme.
Realitas dan kebenaran dalam Islam bukan semata-mata pikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik, dan budaya, sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat. Namun, ia dimaknai berdasarkan kajian metafisika terhadap dunia yang tampak dan tidak tampak.Pandangan hidup Islam mencakup dunia dan akhirat. Aspek dunia itu harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansi yang terakhir dan final.
E.       Paradigma Islamisasi ilmu
Pembahasan tentang epistemologi islam secara garis besar dapat dibagi dua macam. Pertama, berkaitan dengan epistemology islam dalam versi filosof muslim. Dalam kaitan ini maka penting untuk melihat perkembangan filsafat di dunia islam demi mencari asal muasal dan orisinalitas berpikir mereka. Kedua, mencari epistemologi islam yang secara spesifik berasal dari pandangan al-Quran, dimana harus dibiarkan al-Quran bicara sendiri.
Pada pembahasan bagian pertama, yaitu epistemologi islam dalam pandangan kaum filosof muslim, terlebih dahulu harus benar-benar dipahami bahwa pengetahuan adalah ilmu yang tidak hanya membahas tentang objek fisik, karena realitas memiliki objek fisik dan non-fisik sekaligus. Islam mengakui objek non-fisik seperti Tuhan, malaikat, dan jiwa.Inilah yang paling membedakan dengan paradigm sekuler, karena mereka membatasi objek pengetahuan hanya pada objek-objek fisik sejauh bisa diindra.
Adapun tentang pembahasan yang kedua, epistemologik al-Quran, menurut Kuntowijoyo untuk mendapatkan pemahaman tentang pendekatan al-Quran, maka ia menamakannya dengan pendekatan sintetik analitik.[11]
Islamisasi ilmu adalah sebuah keharusan, sebagian akademisi masih ada yang meragukan dan salah paham tentang makna “Islamisasi Ilmu”, padahal, tindakan islamisasi adalah proses yang wajar dari aktifitas seorang muslim. Sangat wajar jika seorang muslimislamisasi Ilmu sebagaimana kaum liberal melakukan liberalisasi, kaum komunis melakukan komunisasi dan kaum sekuler melakukan sekulerisasi.
Islamisasi dilakukan umtuk mengembalikan ilmu pada tenpat dan fungsinya yang utama, yakni untuk menjadikananak didik menjadi manusia-manusia yang beradab, bukan manusia biadab. Yakni manusia yang baik, yang mengenal Allah, Ikhlas menjadikan Rosulullah saw sebagia uswah hasanah, meletakkan ulama sebagai pewaris Nabi, memahami kedudukan ilmu, mampu meletakkan para pahlawan sesuai dengan harkat dan mertabat yang ditentukan Allah, serta mampu mengembangkan potensi yang ada pada dirinya agar dia menjadi Abdullah dan khalifatillah yang baik. 
F.       Paradigma Integrasi Ilmu
Dalam bahasa Inggris, terdapat tiga jenis yang merujuk pada kata integrasi, yaitu sebagai kata kerja to integrate yang berarti mengintegrasikan, menyatupadukan, menggabungkan, mempersatukan (dua hal atau lebih menjadi satu).Sebagai kata benda, integration, berarti integrasi,pengintegrasian atau penggabungan, atau integrity berarti ketulusan hati, kejujuran dan keutuhan.
Paradigma integrasi ilmu berarti cara pandang tertentu atau model pendekatan tertentu terhadap ilmu pengetahuan yang bersifat menyatukan, disebut paradigma integrasi ilmu integratif atau singkatnya paradigma integrasi ilmu integralistik yaitu pandangan yang melihat sesuatu ilmu sebagai bagian dari keseluruhan.[12]
Salah satu tradisi keilmua islam adalah menyatukan antara ilmu dan amal, antara ilmu dan akhlak. maka di dalam islam, jiak ada ilmuwan/ulama yang fasik atau rusak amalnya, dia tidak diterima sebagai bagian dari ulama islam. Para imam madzab adalah orang-orang yang berilmu dan berakhlah tinggi. Seorang yang berilmu islam wajib mengamalkan ilmunya.
Kecenderungan memisahkan ilmu dari amal dalam studi islam model orientalis sangat perlu menjadi perhatian kaum muslim. Mereka membawa tradisi memisahkan ilmu dan amal. Bayak dari para orientalis yang pandai tentang ilmu-ilmu keislaman tetapi tetap tidak beriman pada kebenaran islam. Mereka pandai tentang al-Qur’an tetapi tetap tidak mengimani Al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT. Oleh karena itu, para sarjana muslim harus menjadi orang yang beragama yang sungguh-sungguh.
G.     Latar Belakang Perlunya Integrasi Ilmu
Maraknya kajian dan pemikiran integrasi keilmuan (islamisasi ilmu pengetahuan) dewasa ini didengungkan oleh kalangan intelektual muslim antara lain Naquib al-Attas dan Ismail Raji’ al-Faruqy, tidak lepas dari kesadaran berislam di tengah pergumulan dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu teknologi. Ia misalnya berpendapat bahwa umat Islam akan maju dan dapat menyusul Barat manakala mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan dalam memahami wahyu atau sebaliknya mampu memahami wahyu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Usaha menuju integrasi keilmuan sejatinya telah dimulai sejak abad ke 9, meski mengalami pasang surut.Pada masa al-Farabi (lahir tahun 257 H) gagasan tentang kesatuan dan hirarki ilmu yang muncul sebagai hasil penyelidikan tradisional terhadap epistemologi serta merupakan basis bagi penyelidikan hidup subur dan mendapat tempatnya.[13]
Integrasi keilmuan al-Farabi dimanifestasikan dalam hirarki keilmuan yang dibuatnya.Ia menyebut tiga criteria dalam penyusunan hierarki ilmu. Pertama, berdasarkan subjek ilmu.Kedua, kedalaman bukti-bukti yang didasarkan atas pandangan tentang sistematika pernyataan kebenaran dalam berbagai ilmu yang ditandai oleh perbedaan derajat kejelasan dan keyakinan.Ketiga, berdasarkan besarnya manfaat suatu ilmu.Kriteria ketiga ini berkaitan secara langsung dengan masalah hokum etika.[14]
Kriteria ilmu al-Farabi, karena bukan didasarkan atas ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum tetapi berdasarkan ketiga faktor di atas, maka yang terjadi adalah upaya pengintegralan (islamisasi) ilmu pengetahuan.Dalam klasifikasi ini, belum terlihat jelas integrasi antara ilmu agama dan rasional.
Dalam konteks Indonesia, usaha integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum pernah dilakukan oleh M. Natsir sebagaimana tertuangkan dalam buku Capita Selecta. Menurut Natsir, pendidikan islam yang integral tidak mengenal adnya pemisahan antara sains dengan agama. Karena penyatuan antara sistem-sistem pendidikan islam adalah tuntutan akidah islam.[15]
H.     Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum
Agama dan ilmu dalam beberapa hal berbeda, namun dalam pada sisi tertentu memiliki kesamaan.Agama lebih mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi yang sudah mapan (ritual), cenderung eksklusif, dan subjektif.Sementara ilmu selalu mencari yang baru, tidak terlalu terkait dengan etika, progresif, bersifat inklusif, dan objektif.Kendati agama dan ilmu berbeda, keduanya memiliki kesamaan, yakni bertujuan memberi ketenangan dan kemudahan bagi manusia.[16]
Karakteristik agama dan ilmu tidak selalu harus dilihat dalam konteks yang berseberangan, tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana keduanya bersinergi dalam membantu kehidupan manusia yang lebih layak.Contohnya, ilmu dan teknologi mampu mengantarkan manusia dalam tataran yang global, yang juga sering disebut dengan era informasi, tetapi kehidupan yang global itu pula yang menyelenggarakan sebagian besar penduduk di muka bumi ini.
Sebagaimana ilmu dan teknologi, agama mendapat tantangan dari rasionalitas manusia yang telah membuktikan diri mampu mengubah penampilan dunia fisik.Perwujudan dari kearifan religious yang unspeakable dikalahkan oleh rasionalitas yang senantiasa melihat persoalan secara teknis sebatas alam fisik.Pada tingkat praktis, “agama kuno” memiliki apresiasi terhadap kehidupan yang lebih baik dan ini mengacu kepada jiwa yang lebih kesatria dan mulia. Sedangkan “agama modern” mewakili sikap egoistis manusia terhadap lingkungannya, jika bukan memamerkan cara mengesahkan keserakahan sekedar untuk tidak dianggap kuno.[17]
Semangat yang berlebihan dalam beragama justru akan merugikan dan merusak makna agama itu sendiri. Di satu pihak penerapan rasionalitas dalam agama yang dilakukan oleh mereka yang ingin memodernisasikan agama agar sesuai dengan kemajuan jaman atau berpretensi untuk membersihkan agama dari berbagai bid’ah akan memiskinkan agama sekedar pelayan materialisme, karena rasionalitas hanya dapat bekerja pada wilayah logis yang  speakable dan bukan wilayah reflektif dari pengetahuan manusia di mana wilayah rasionalitas harus bekerja dua kali dan dengan demikian mengingkari dirinya. Di pihak lain, religiusitas tidak dapat direalisasikan secara paksa karena hanya akan memuaskan perasaan manusia belaka.[18]
Moh. Natsir Mahmud mengemukakan beberapa proposisi (usulan) tentang kemungkinan islamisasi ilmu pengetahuan, sebagai berikut :
a.       Dalam pandangan islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan mengandung nilai (value) dan “maksud” yang luhur. Bila alam dikelola dengan “maksud” yang inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia. “Maksud” alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang diemban dari Tuhan.
b.      Ilmu pengetahuan adalah produk alam pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena di sekitarnya. Sebagai produk pikiran, maka corak ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti.
c.       Dalam pandangan islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar disekitar rasio dan empiri, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empiri mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai.
d.      Dalam pandangan islam realitas itu tidak hanya realitas fisis tetapi juga ada realitas non-fisis atau metafisis. Pandangan ini diakui oleh ontology rasionalisme yang mengakui sejumlah kenyataan empiris, yakni empiris sensual, rasional, empiris etik dan empiris transeden.[19]






BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.    Integrasi adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.
2.    Islamisasi adalah menunjuk pada proses pengislaman, dimana objeknya adalah orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun objek lainnya.
3.    Epistemologi islam dalam pandangan kaum filosof muslim, terlebih dahulu harus benar-benar dipahami bahwa pengetahuan adalah ilmu yang tidak hanya membahas tentang objek fisik, karena realitas memiliki objek fisik dan non-fisik sekaligus.
4.   Epistemologik al-Quran, menurut Kuntowijoyo untuk mendapatkan pemahaman tentang pendekatan al-Quran, maka ia menamakannya dengan pendekatan sintetik analitik.
5.    Paradigma integrasi ilmu berarti cara pandang tertentu atau model pendekatan tertentu terhadap ilmu pengetahuan yang bersifat menyatukan, disebut paradigma integrasi ilmu integratif atau singkatnya paradigma integrasi ilmu integralistik yaitu pandangan yang melihat sesuatu ilmu sebagai bagian dari keseluruhan.
6.   Agama dan ilmu dalam beberapa hal berbeda, namun dalam pada sisi tertentu memiliki kesamaan. Agama lebih mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi yang sudah mapan (ritual), cenderung eksklusif, dan subjektif.Sementara ilmu selalu mencari yang baru, tidak terlalu terkait dengan etika, progresif, bersifat inklusif, dan objektif.Kendati agama dan ilmu berbeda, keduanya memiliki kesamaan, yakni bertujuan memberi ketenangan dan kemudahan bagi manusia.








DAFTAR PUSTAKA


Al-Atas, Syed Muhammad Naquib.Islam dan Sekularisme, Terj. Karsidjo Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1981)
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993)
Azyumardi Azra. dkk, Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset…,
Bahtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, (Jakarta : Rajawali Press, 2010)
Daud, Wan Mohd Nor Wan. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas,terj. (Bandung: Mizan,2003)
Kartanegara, Mulyadi. Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung: Mizan, 2005)
LP3ES. Agama dan Tantangan Zaman, (Jakarta :LP3ES, 1985),
Mahmud, Moh. Natsir.Landasan Paradigma Islamisasi Ilmu Pengetahuan,  (Jakarta : Gramedia, 1986)
Naim, Abdullah Ahmad.dkk.,Pemikiran Islam Kontemporer(Yogyakarta: Jendela, 2003)
Nata, Abudin. dkk. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003)
Pusat Bahasa Kemendiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia , edisi 3, 2011.
Suharto, Ugi. Epistemologi Islam dalam On Islamic Civilization (Laode M Kamaluddin dkk)



[1]Wan Mohd Nor Wan Daud,Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas,terj. (Bandung: Mizan,2003), hal. 270
[2] Ugi Suharto,Epistemologi Islam dalam On Islamic Civilization (Laode M Kamaluddin dkk),…hal. 163
[3]Pusat Bahasa Kemendiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia , edisi 3, 2011.
[4]Abudin Nata, dkk. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003), Cet 1, h. 171.
[5]Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung: Mizan, 2005), h. 32.
[6]Abudin Nata, dkk. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum…, h. 171.

[7]Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), p. 134.

[8]Abdullah Ahmad Na’im, dkk., Pemikiran Islam Kontemporer(Yogyakarta: Jendela, 2003), p. 338
[9]Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, Terj. Karsidjo Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1981), p. 195-196.
[10]al-Attas, Islam dan Sekularisme…, hal. 197-198
[11][11]Azyumardi Azra,dkk, Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), h. 42.
[12]Azyumardi Azra,dkk, Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset…, h. 47.
[13]Abudin Nata, dkk. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum…, h. 172.
[14]Abudin Nata, dkk. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum…, h. 172.
[15]Abudin Nata, dkk. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum…, h. 172.
[16]Amsal Bahtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), h. 230.
[17]Amsal Bahtiar, Filsafat Ilmu,…h. 230
[18]LP3ES, Agama dan Tantangan Zaman, (Jakarta :LP3ES, 1985), h. XIII
[19]Moh. Natsir Mahmud, Landasan Paradigma Islamisasi Ilmu Pengetahuan,  (Jakarta : Gramedia, 1986), h. 129