Selasa, 22 April 2014

Pentingnya Budaya Malu



Dalam sebuah riwayat Rasulullah bersabda, ''Apabila kamu sudah tidak punya perasaan malu, maka lakukanlah apa pun yang kamu mau.'' Dari riwayat tersebut Rasulullah ingin mengajarkan bahwa malu merupakan salah satu prasyarat untuk ketakwaan, dalam artian ketika ingin melakukan suatu kesalahan atau maksiat dan perasaan malu ada dalam hati maka keinginan untuk melakukannya menjadi hilang.
Malu yang dimaksud oleh Rasulullah di sini bisa diartikan dua hal. Pertama, malu kepada Allah, karena setiap perbuatan manusia sekecil apa pun dan detik per detik tentu tak akan lepas dari muraqabatullah. Ketika Allah membenci setiap perbuatan maksiat seorang hamba, ketika itulah si hamba harus sadar bahwa kemurkaan Allah akan didapatkan kalau perbuatan itu terus dilakukan.
Kedua, malu kepada manusia. Ini bukan berarti kita berubah menjadi menuhankan manusia itu sendiri, tetapi yang dimaksud di sini adalah perasaan malu ketika manusia lain mengetahui perbuatan tersebut. Sebab, secara manusiawi setiap orang yang melakukan kesalahan pasti ingin menyembunyikan dari orang lain, karena hati kecil manusia selalu dan akan selalu mengajak kepada perbuatan mulia.
Kalau dikaitkan dengan potret pemilu di Indonesia sekarang, kita sampai kepada kesimpulan bahwa perasaan malu sudah tidak lagi dipunyai para elite politik. Keinginan untuk memperoleh jabatan dan kekuasaan mengalahkan bisikan hati nurani. Rasa malu karena kekalahan dan ejekan pendukung mengalahkan rasa malu kepada Allah yang menciptakan kekuasan itu sendiri. Berbagai upaya ditempuh untuk sebuah kebanggaan di dunia walaupun harus melakukan cara-cara tercela.
Semakin jauhnya harapan rakyat dari realita tidak memberikan kesadaran dan rasa malu bagi mereka yang gagal mengemban amanah rakyat. Krisis ekonomi semakin menghimpit, harga-harga melangit, kesejahteraan wong cilik semakin tak tersentuh. Pengangguran, anak jalanan, kriminalitas semakin menjadi-jadi. Tapi, ketika mengampanyekan diri untuk menjadi pemimpin, dengan tidak punya rasa malu kembali berteriak lantang sebagai orang yang paling peduli kepada rakyat.
Janji menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN dan money politics justru diteriakkan lantang oleh orang yang menyuburkan korupsi. Entah ke mana lagi rasa malu yang dipunyai calon pemimpin kita. Kepada manusia sendiri sudah hilang. Apalagi kepada Allah sebagai tempat pertanggungjawaban yang mahaadil di akhirat kelak.
Kepemimpinan dapat diartikan sebagai amanah sekaligus teladan kepada rakyat. Kepemimpinan bertujuan membimbing dan mengarahkan rakyat untuk sejahtera dan mengesampingkan kesenangan pribadi dan kolega, siap menderita ketika harus sampai kepada pilihan berbagi kesengsaraan dengan rakyat.
Mungkin masih relevan pesan nurani Bung Hatta, Sang Proklamator Kemerdekaan Indonesia, ''Pemimpin yang bisa diandalkan rakyatnya adalah pemimpin yang mempunyai keberanian untuk menderita dan menahan rasa sakit.''

Minggu, 20 April 2014

Teori Komunikasi Massa


TEORI KOMUNIKASI MASSA


  Teori Komunikasi Massa
 dan Didiskusikan
di Kelas pada Mata Kuliah Komunikasi Massa
Oleh:
Naharuddin
NIM : 201131110016
Dosen Pengampu:
Alim Puspianto, S.Sos.I., M.Kom.I
Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam
Jurusan Dakwah
Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman al-Hakim
Pondok Pesantren Hidayatullah
Surabaya
2014





BAB I
PENDAHULUAN
Kehidupan manusia saat ini tidak terlepas dari perkembangan media massa, setiap harinya manusia dibanjiri oleh berbagai informasi dari media massa seperti koran, televisi, radio, internet dsb. Kebanyakan orang menetapkan apa yang baik dan tidak baik berdasarkan informasi yang mereka ketahui dari media massa, manusia mengamati apa yang terjadi tidak hanya dari mata dan telinganya saja tetapi juga mengandalkan media massa sebagai pihak ketiga. Pada dasarnya media massa membantu dan mempermudah khalayak untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di lingkungannya, negaranya ataupun di bagian dunia yang lain namun terkadang media massa memberikan informasi yang dapat meracuni sikap serta pola pikir khalayaknya.
Merujuk pada ilmu komunikasi, media massa erat kaitannya dengan komunikasi massa, karena komunikasi massa merupakan studi ilmiah tentang media massa beserta pesan yang dihasilkan, pembaca / pendengar / penonton yang akan coba diraihnya, dan efeknya terhadap mereka.[1] Komunikasi massa mampu menciptakan opini publik, menentukan isu, memberikan kesamaaan dalam kerangka berpikir serta menyusun urut-urutan hal yang menjadi perhatian publik. Komunikasi massa pada awalnya merupakan suatu tipe komunikasi manusia yang lahir bersamaan dengan mulai digunakannya alat-alat mekanik yang mampu melipatgandakan pesan-pesan komunikasi dan dikenal dengan istilah publisitik. Istilah publisistik  dimulai satu setengah abad setelah ditemukannya mesin cetak oleh Johannes Gustenberg, sejak saat itulah dikenal dengan zaman publisitik atau awal dari era komunikasi massa.[2]
Komunikasi massa yang merupakan disiplin ilmu komunikasi memiliki beragam pengertian yang memiliki batasan berbeda-beda dari para ahlinya. Menurut Joseph A Devito dalam bukunya, Communicology: An Introduction to the Study of communication, mengenai pengertian komunikasi massa secara lebih tegas yang telah diterjemahkan dalam bahasa adalah sebagai berikut “Pertama komunikasi massa adalah komunikasi yang ditunjukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang membaca atau semua orang yang menonton televise, agaknya ini berarti bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya sulit untuk didefinisikan. Kedua komukasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio dan atau visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan lebih logis bila didefinisikan menurut bentuknya : televise, radio, surat kabar, majalah, film, buku, dan pita”.[3]
Komunikasi massa adalah proses komunikasi yang dilakukan media massa dengan berbagai tujuan komunikasi dan untuk menyampaikan informasi kepada khalayak luas.[4] Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi massa merupakan komunikasi media massa, sesuai dengan awal perkembangannya komunikasi massa berasal dari pengembangan kata media of  mass communication dimana media massa yang dimaksud merupakan hasil dari produk teknologi modern sebagai salurannya. Dengan demikian media massa adalah alat-alat dalam komunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audience yang luas dan heterogen. Kelebihan media massa dibanding dengan jenis komunikasi lain adalah ia bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu. Bahkan media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas.
Media massa berkembang seiring perkembangan teknologi yang makin canggih, hal ini melahirkan adanya perbedaan paradigma mengenai alat-alat komunikasi massa. Pada paradigma lama yang disebut alat-alat komunikasi massa meliputi surat kabar, majalah, tabloid, buku, televise, radio, kaset/CD dan film. Sementara dalam paradigma baru ada penambahan dan pengurangan yakni surat kabar, majalah, televise, tabloid, radio, internet. Dapat dilihat bahwa ada media massa yang gugur dan ada pula yang muncul, salah satu cirri komunikasi massa adalah keserempakan. Zaman dahulu buku, film, kaset/CD sangat mungkin mempunyai keserempakan yang tinggi jika dilihat pada kondisi saat itu. Akan tetapi dengan ditemukannya alat-alat komunikasi yang lebih canggih, keserempakan tersebut harus ditinjau ulang. Hadirnya media baru seperti internet, radio dan televise memungkinkan keserempakan yang tinggi, hal inilah yang menyebabkan gugurnya alat-alat komunikasi dalam paradigma lama. Dengan demikian alat-alat komunikasi massa akan mengalami perubahan dari masa ke masa sejalan dengan tingkat perkembangan peradaban manusia dan peningkatan percepatan teknologi manusia.[5]
BAB II
PEMBAHASAN

Teori-Teori Komunikasi Massa - Teori adalah gagasan dari suatu kejadian yang membantu kita menjelaskan bagaimana dan mengapa suatu peristiwa terjadi.
Komunikasi massa adalah jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat. Dalam komunikasi massa itu sendiri memiliki berbagai macam teori di antaranya:
A.      Hipodermic Needle Theory
Teori ini berkembang di sekitar tahun 1930 hingga 1940an. Dan ini merupakan teori media massa pertama yang ada. Teori ini mengasumsikan bahwa komunikator yakni media massa digambarkan lebih pintar dan juga lebih segalanya dari audience.
Teori ini memiliki banyak istilah lain. Biasa kita sebut Hypodermic needle (teori jarum suntik), Bullet Theory (teori peluru) transmition belt theory (teori sabuk transmisi). Dari beberapa istilah lain dari teori ini dapat kita tarik satu makna , yakni penyampaian pesannya hanya satu arah dan juga mempunyai efek yang sangat kuat terhadap komunikan.
Dari beberapa sumber teori ini bermakna :
Memprediksikan dampak pesan pesan komunikasi massa yang kuat dan kurang lebih universal pada semua audience.[6] Disini dapat dimaknai bahwa peran media massa di waktunya ( sekitar tahun 1930an ) sangat kuat sehingga audience benar mengikuti apa yang ada dalam media massa.
Selain itu teori ini juga di maknai dalam teori peluru karena apa yang di sampaikan oleh media langsung sampai terhadap audience.[7] Kekuatan media yang begitu dahsyat hingga bisa memegang kendali pikiran khalayak yang pasif dan tak berdaya.[8]
Dari sini kita ketahui bahwa teori peluru adalah sebuah teori media yang memiliki dampak yang kuat terhadap audiencenya sehingga tak jarang menimbulkan sebuah budaya baru dan penyaampaiannya secara langsung dari komunikator yakni media kepada komunikan (audience).
Beberapa hal yang juga ada dan menjadi bagian yang sangat penting ada dalam teori ini antara lain :
ü  Media : dalam hal ini berperan sebagai komunikator, dan komunikator di sini sifatnya adalah melembaga dan bukan perorangan
ü  Pesan : disni pesan adalah isi atau hal yang disampakan oleh media tersebut. Pesan yang di sampaikaan juga memiliki beberapa unsur :
a.       struktur pesan tersebut
b.      gaya dari pesan tersebut
c.       appeals dari pesan tersebut.
ü  Audience : audience berfungsi sebagai komunikan yang menerima pesan dari komunikator. Komunikator yakni media juga memiliki kriteria yang ada :
a.       kredibilitas media tersebut
b.      daya tarik dari media tersebut
c.       kekuasaan media
Dan selain itu sebagai komunikan, ada beberapa perubahan atau efek yang di harapkan diantaranya:
a)      perubahan afeksi dari komunikan
b)      perubahan behaviour dan
c)      perubahan kognisi
Jadi disini media benar mempunyai kekuatan yang sangat kuat untuk mempengaruhi audience.
1.      Terapan Teori Terhadap Masyarakat
Masyarakat bukanlah atom- atom yang mengalami alienasi, melainkan agen-agen yang akan menunjukkan kemampuan subyektivitasnya dalam menanggapi pesan-pesan media. Masyarakat merupakan pihak yang dapat bertindak aktif untuk membaca dan memaknai setiap pesan media yang melintas dan menghunjam benak kesadarannya. Masyarakat mampu menunjukkan kelihaiannya dalam menegosiasikan pesan-pesan media. Sampai pada titik yang sulit diramalkan kepastiannya, masyarakat pun akan melakukan oposisi atau perlawanan terhadap pesan-pesan media itu sendiri. Selain dipertimbangkan, pesan-pesan media akan mendapatkan subversi tanpa henti.
Contoh yang akan kita bahas dalam makalah ini adalah, pada iklan air mineral yang bermerek Aqua. Dimana pada saat produk air mineral ini dipublikasikan, secara langsung bisa mempengaruhi asumsi khalayak bahwasanya air mineral itu adalah aqua. Sehingga sampai saat ini aqua sudah terdoktrin di ingatan khalayak. Walaupun sudah banyak merek-merek air mineral yang bermunculan.
2.      Kelemahan Dan Kekuatan Theory Hypodermic Needle Theory
Pada dasarnya setiap theory memmpunyai kekuatan dan juga kelemahan. Dan tentunya beberapa teori tersebut hanya bisa berkembang di masanya dan juga mengalami penyempurnaan seperti teori ini yang juga terus mengalami perkembangan.
Kekuatan teori jarum suntik :
Ø  media memiliki peranan yang kuat dan dapat mempengaruhi aveksi, kognisi dan behaviour dari audiencenya.
Ø  Pemerintah dalam hal ini penguasa dapat memanfaatkan media untuk kepentingan birokrasi (negara otoriter)
Ø  Audience dapat lebih mudah di pengaruhi
Ø  Pesanya lebih mudah dipahami
Ø  Sedikit kontrol karena masyarakat masih dalam kondisi homogen.
Kelemahan teori jarum suntik :
Ø  keberadaan masyarakat yang tak lagi homogen dapat mengikis teori ini
Ø  tingkat pendidikan masyarakat yang semakin meningkat
Ø  Meningkatnya jumlah media massa sehingga masyarakat menentukan pilihan yang menarik bagi dirinya
Ø  Adanya peran kelompok yang juga menjadi dasar audience untuk menerima pesan dari media tersebut
B.       Spiral of Silence Theory
Spiral keheningan adalah sebuah teori media yang lebih memberikan perhatian pada pandangan mayoritas dan menekan pandangan minoritas.[9] Mereka yang berada di pihak minoritas cenderung kurang tegas dalam mengemukakan pandangannya. Kelompok minoritas sering merasa perlu untuk menyembunyikan pendapat dan pandangannya ketika berada dalam kelompok mayoritas. Seseorang sering merasa perlu menyembunyikan “sesuatu”-nya ketika berada dalam kelompok mayoritas. Sebaliknya, mereka yang berada di pihak mayoritas akan merasa percaya diri dengan pengaruh dari pandangan mereka dan terdorong untuk menyampaikannya kepada orang lain. Maka dari itu, hal ini berangkat dari asumsi akan adanya ketakutan dari individu-individu akan isolasi dari masyarakat. Ketakutan itu muncul jika individu-individu mempunyai opini yang berbeda bahkan berseberangan dengan opini mayoritas masyarakat. Individu yang opininya berbeda dengan mayoritas masyarakat akan cenderung bungkam (silence) karena takut akan isolasi yang mungkin diterimanya. Secara sosiologis, teori Spiral keheningan mengakui bahwa ketakutan individu akan isolasi ini hanya berlaku pada masyarakat kurang terdidik dan miskin, irasional, dan tidak memiliki dedikasi untuk mengemukakan pendapatnya secara bebas dan bertanggung jawab.
Spiral of silence theory di kenal juga dengan teori spiral kesunyian, dan sering juga disebut juga spiral kebisuan. Teori ini dikembangkan oleh Elisabeth Noelle Neumann (1973,1980). Pada beberapa sumber Neumann di sebutkan sebagai seorang sosiolog, peneliti politik, bahkan ada yang menyebutkan bahwa Neumann adalah seorang jurnalis Nazi Jerman, dimana tulisan-tulisannya mendukung rezim Hitler dan anti yahudi. Teori spiral kesunyian dianggapnya sebagai buah karya Neumann yang pemikirannya dipengaruhi oleh lingkungan Nazi.[10] Namun para ilmuwan lain lebih memilih untuk memandang teori spiral kesunyian ini sebagai sebuah teori yang hendaknya dipandang atau dinilai dengan prinsip-prinsip ilmiah.
Teori ini mendasarkan asumsinya pada pernyataan bahwa pendapat pribadi bergantung pada apa yang dipikirkan  atau diharapkan orang lain, atau apa yang orang rasakan atau anggap sebagai pendapat dari orang lain. Orang pada umumnya berusaha untuk menghindari isolasi sosial, atau pengucilan atau keterasingan dalam komunitasnya dalam kaitannya mempertahankan sikap atau keyakinan tertentu. Dalam hal ini terdapat 2 premis yang mendasarinya:
·         pertama, bahwa orang tahu pendapat mana yang diterima dan pendapat mana yang tidak diterima. Manusia dianggap memiliki indera semi statistik (quasi-statistical sense) yang digunakan  untuk menentukan opini dan cara perilaku mana yang disetujui atau tidak disetujui oleh lingkungan mereka, serta opini dan bentuk perilaku mana yang memperoleh atau kehilangan kekuatan.[11]
·         Kedua, adalah bahwa orang akan menyesuaikan pernyataan opini mereka dengan persepsi ini. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengekspresikan opini kita dengan berbagai cara, tak selalu harus membicarakannya, kita mengenakan pin atau bros, atau menempel stiker di belakang mobil kita. Kita berani melakukan itu karena kita yakin bahwa orang lain pun dapat menerima pendapat kita.[12]
Dalam hal menentukan distribusi opini publik, menurut Neumann, media masa memiliki 3 cara. Pertama, media masa membentuk kesan tentang opini yang dominan. Kedua, media masa membentuk kesan tentang opini mana yang sedang meningkat. Ketiga, media masa membentuk kesan tentang opini mana yang dapat disampaikan di muka umum tanpa menjadi tersisih.[13]
C.      Agenda Setting Theory
Studi efek media dengan pendekatan agenda setting (penentuan/pengaturan agenda) sudah dimulai pada tahun 1960-an, namun popularitas baru muncul setelah publikasi hasil karya McCombs dan Shaw di Chapel Hill pada tahun 1972. Mereka menggabungkan dua metoda sekaligus, yaitu analisa isi (untuk mengetahui agenda media di Chapel Hill) dan survey terhadap 100 responden untuk mengetahui prioritas agenda publiknya (Haryanto, 2003). Studi tersebut menemukan bukti bahwa terdapat korelasi yang sangat kuat (0,975) antara urutan prioritas pentingnya 5 isu yang dilansir oleh media di Chapel Hill bersesuaian dengan urutan prioritas pada responden.
Walaupun penelitian tersebut hanya dapat membuktikan pengaruh kognitif media atas audiens, namun studi agenda setting  tersebut sudah dapat dipakai sebagai upaya untuk mengkaji, mengevaluasi, dan menjelaskan hubungan antara agenda media dan agenda publik. McCombs dan Shaw (dalam Griffin, 2003) meyakini bahwa hipotesa agenda setting tentang fungsi media terbukti- terdapat korelasi yang hampir sempurna antara prioritas agenda media dan prioritas agenda publi.[14]
Setelah publikasi karya tersebut, banyak eksplorasi dilakukan dengan menggunakan metode kombinasi analisa isi dan survey. Hasil-hasil penelitian lanjutan adalah beragam. Ada yang memperkuat, akan tetapi tidak sedikit yang memperlemah temuan  McCombs dan Shaw. Mengapa demikian? Rogers (1997) dalam A Paradigmatic Hystory of Agenda Setting Research,   berpendapat bahwa kurang diperhatikannya on going process dalam framing[15] dan priming[16] agenda media; maupun on going process dalam agenda public, seringkali menyebabkan kesimpulan yang diperoleh dalam studi agenda setting tidak sesuai dengan realita yang ada. Dengan begitu, bisa jadi hasil-hasil penelitian yang beragam itu ada yang bersifat semu. Artinya hubungan yang terjadi disebabkan karena pilihan sampelnya kebetulan mendukung/tidak mendukung hipotesis yang dikembangkan, atau mungkin pilihan isu-nya kebetulan menyangkut/tidak menyangkut kepentingan kelompok responden.
Agenda-setting diperkenalkan oleh McCombs dan DL Shaw (1972). sadaran publik serta perhatiannya kepada isu-isu yang dianggap penting oleh media massa. Dalam hal ini media diasumsikan memiliki efek yang sangat kuat, terutama karena asumsiAsumsi teori ini adalah bahwa jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi apa yang dianggap penting media, maka penting juga bagi masyarakat. Teori Penentuan Agenda juga merupakan teori yang menyatakan bahwa media massa berlaku merupakan pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media massa untuk mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam agenda publik dengan mengarahkan ke ini berkaitan dengan proses belajar bukan dengan perubahan sikap dan pendapat.
Dua asumsi dasar yang paling mendasari penelitian tentang penentuan agenda adalah:
1)      Masyarakat pers dan mass media tidak mencerminkan kenyataan; mereka menyaring dan membentuk isu.
2)      Konsentrasi media massa hanya pada beberapa masalah masyarakat untuk ditayangkan sebagai isu-isu yang lebih penting daripada isu-isu lain.
Agenda setting menjelaskan begitu besarnya pengaruh media--berkaitan dengan kemampuannya dalam memberitahukan kepada audiens mengenai isu - isu apa sajakah yang penting. Salah satu aspek yang paling penting dalam konsep penentuan agenda adalah peran fenomena komunikasi massa, berbagai media massa memiliki penentuan agenda yang potensial berbeda termasuk intervensi dari pemodal.
D.      Teori Behaviorisme
Tokoh aliran ini adalah John B. Watson (1878 – 1958) yang di Amerika dikenal sebagai bapak Behaviorisme. Teorinya memumpunkan perhatiannya pada aspek yang dirasakan secara langsung pada perilaku berbahasa serta hubungan antara stimulus dan respons pada dunia sekelilingnya. Menurut teori ini, semua perilaku, termasuk tindak balas (respons) ditimbulkan oleh adanya rangsangan (stimulus). Jika rangsangan telah diamati dan diketahui maka gerak balas pun dapat diprediksikan. Watson juga dengan tegas menolak pengaruh naluri (instinct) dan kesadaran terhadap perilaku. Jadi setiap perilaku dapat dipelajari menurut hubungan stimulus - respons.
Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme dan juga psikoanalisis. Behaviorisme ingin menganalisis hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Belakangan, teori kaum behavioris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena menurut mereka seluruh perilaku manusia kecuali instink adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktorfaktor lingkungan. Dari sinilah timbul konsep “manusia mesin” (Homo Mechanicus).
E.       Teori Humanisme
Teori ini muncul diilhami oleh perkembangan dalam psikologi yaitu psikologi Humanisme. Sesuai pendapat yang dikemukakan oleh McNeil (1977) “In many instances, communicative language programmes have incorporated educational phylosophies based on humanistic psikology or view which in the context of goals for other subject areas has been called ‘the humanistic curriculum”
Teori humanisme dalam pengajaran bahasa pernah diimplementasikan dalam sebuah kurikulum pengajaran bahasa dengan istilah Humanistic curriculum yang diterapkan di Amerika utara di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Kurikulum ini menekankan pada pembagian pengawasan dan tanggungjawab bersama antar seluruh siswa didik. Humanistic curiculum menekankan pada pola pikir, perasaan dan tingkah laku siswa dengan menghubungkan materi yang diajarkan pada kebutuhan dasar dan kebutuhan hidup siswa. Teori ini menganggap bahwa setiap siswa sebagai objek pembelajaran memiliki alasan yang berbeda dalam mempelajari bahasa.
Tujuan utama dari teori ini adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa agar bisa berkembang di tengah masyarakat. The deepest goal or purpose is to develop the whole persons within a human society. (McNeil,1977)
F.       Teori Informasi atau Matematis
Salah satu teori komunikasi klasik yang sangat mempengaruhi teori-teori komunikasi selanjutnya adalah teori informasi atau teori matematis. Teori ini merupakan bentuk penjabaran dari karya Claude Shannon dan Warren Weaver (1949, Weaver. 1949 ), Mathematical Theory of Communication.
Teori ini melihat komunikasi sebagai fenomena mekanistis, matematis, dan informatif: komunikasi sebagai transmisi pesan dan bagaimana transmitter menggunakan saluran dan media komunikasi. Ini merupakan salah satu contoh gamblang dari mazhab proses yang mana melihat kode sebagai sarana untuk mengonstruksi pesan dan menerjemahkannya (encoding dan decoding).
Teori informasi ini menitikberatkan titik perhatiannya pada sejumlah sinyal yang lewat melalui saluran atau media dalam proses komunikasi. Ini sangat berguna pada pengaplikasian sistem elektrik dewasa ini yang mendesain transmitter, receiver, dan code untuk memudahkan efisiensi informasi.

BAB III
KESIMPULAN

Salah satu teori komunikasi massa dalam media adalah hypodermic theory atau biasa yang disebut dengan teori jarum suntik. Artinya media massa sangat mempunyai kekuatan penuh dalam menyampaikan informasi. Apa pun pesan yang disiarkan oleh media bisa dengan sendirinya dapat mempengaruhi khalayaknya. Teori ini menyatakan bahwa efek-efek merupakan reaksi spesifik terhadap stimuli yang spesifik pula. Jika seseorang menerapkan teori ini dapat mengharapkan dan memprediksikan hubungan yang dekat antara pesan media dan reaksi khalayak.
Untuk mengkaji pengaruh pesan pada khalayak, diperlukan lebih banyak fariabel, antara lain jenis informasi yang diikuti dari media, frekuensi dan intensitas mengikuti informasi tersebut, dan juga variabel-variabel internal kahalayak sendiri seperti, tingkat pendidikan dan wawasan, jenis kelamin, tingkat usia, dan kelompok sosial lainnya.
Teori ini, sebagaimana diuraikan Denis McQuail dan Sven Windahl (dalam Communication Models: For the Study of Mass Communications, 1981: 42) mengandaikan keterlibatan tiga elemen, yakni (1) stimulus atau rangsangan dalam wujud pesan- pesan atau informasi; (2) organisme yang tidak lain merupakan khalayak yang berkedudukan sebagai penerima pesan; dan (3) respons yang merupakan efek yang dipastikan muncul sebagaimana yang dikehendaki oleh pemberi pesan.
Ringkasnya adalah khalayak yang diberlakukan layaknya organisme biologis akan menyajikan tanggapan yang pasti sesuai dengan rangsangan yang disemburkan oleh sumber yang memberikan informasi. Jalinan stimulus-organisme-respons (S-O-R) pun dengan sendirinya akan tertata dengan rapi.
Dalam teori ini spiral of silent lebih cenderung pada kelompok atau individu yang pendiam dan opinya masuk kedalam minoritas. Teori ini menjelaskan suatu pendapat atau opini dan tidak juga untuk dinyatakan,menentukan opini manakah yang akan untuk dikatakan dan yang tidak untuk dikatakan. Spiral keheningan ini sering digunakan pada kelompok atau individu yang masuk kedalam minoritas. Bagi yang sifatnya tidak ingin berdebat dan cari perdebatan. Dan teori ini juga digunakan pada sifat manusia yang pendiam. Dan teori ini menggunakan media sebagai solusi pendapatnya dapat dilihat dan didengar publik melalui media yang menyebabkan isu-isu menarik yang berbeda pendapat.
Teori ini dapat dijadikan senjata untuk menghindari pendapat mayoritas yang berbeda pendapat dengannya, tetapi teori ini tidak menyuruh untuk ikut-ikutan pendapat. Teori ini mempunya kelemahan, bagi orang-orang yang keras pada keinginannya bahkan mempunyai kepercayaan dan keyakinan yang tinggi.tentu saja kepercayaan dan keyakinan adlah suatu pendapat yang sudah disepakati atau sudah menjadi prinsipnya dan merasa ide-idenya akan didukung sepenuhnya.
Agenda-setting diperkenalkan oleh McCombs dan DL Shaw (1972). Asumsi teori ini adalah bahwa jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi apa yang dianggap penting media, maka penting juga bagi masyarakat. Teori Penentuan Agenda juga merupakan teori yang menyatakan bahwa media massa berlaku merupakan pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media massa untuk mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam agenda publik dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu-isu yang dianggap penting oleh media massa. Dalam hal ini media diasumsikan memiliki efek yang sangat kuat, terutama karena asumsi ini berkaitan dengan proses belajar bukan dengan perubahan sikap dan pendapat.
Dua asumsi dasar yang paling mendasari penelitian tentang penentuan agenda adalah:
1)      Masyarakat pers dan mass media tidak mencerminkan kenyataan; mereka menyaring dan membentuk isu.
2)      Konsentrasi media massa hanya pada beberapa masalah masyarakat untuk ditayangkan sebagai isu-isu yang lebih penting daripada isu-isu lain.
Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme dan juga psikoanalisis. Behaviorisme ingin menganalisis hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Belakangan, teori kaum behavioris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena menurut mereka seluruh perilaku manusia kecuali instink adalah hasil belajar.
Teori humanisme dalam pengajaran bahasa pernah diimplementasikan dalam sebuah kurikulum pengajaran bahasa dengan istilah Humanistic curriculum yang diterapkan di Amerika utara di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Kurikulum ini menekankan pada pembagian pengawasan dan tanggungjawab bersama antar seluruh siswa didik. Humanistic curiculum menekankan pada pola pikir, perasaan dan tingkah laku siswa dengan menghubungkan materi yang diajarkan pada kebutuhan dasar dan kebutuhan hidup siswa. Teori ini menganggap bahwa setiap siswa sebagai objek pembelajaran memiliki alasan yang berbeda dalam mempelajari bahasa.
Tujuan utama dari teori ini adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa agar bisa berkembang di tengah masyarakat. The deepest goal or purpose is to develop the whole persons within a human society. (McNeil,1977)
Salah satu teori komunikasi klasik yang sangat mempengaruhi teori-teori komunikasi selanjutnya adalah teori informasi atau teori matematis. Teori ini merupakan bentuk penjabaran dari karya Claude Shannon dan Warren Weaver (1949, Weaver. 1949 ), Mathematical Theory of Communication.
Teori ini melihat komunikasi sebagai fenomena mekanistis, matematis, dan informatif: komunikasi sebagai transmisi pesan dan bagaimana transmitter menggunakan saluran dan media komunikasi. Ini merupakan salah satu contoh gamblang dari mazhab proses yang mana melihat kode sebagai sarana untuk mengonstruksi pesan dan menerjemahkannya (encoding dan decoding).
Teori informasi ini menitikberatkan titik perhatiannya pada sejumlah sinyal yang lewat melalui saluran atau media dalam proses komunikasi. Ini sangat berguna pada pengaplikasian sistem elektrik dewasa ini yang mendesain transmitter, receiver, dan code untuk memudahkan efisiensi informasi.






DAFTAR PUSTAKA

J. Saverin, J.W., & Tankard, 2005. Teori Komunikasi: Sejarah, metode, dan terapan di  dalam media masa. Jakarta:Kencana Prenanda media Group
J. Severin, J.W, dan Tankard. 2008. Teori Komunikasi. Jakarta : Kencana: Media Pressindo.
Mulyana Deddy. 2005. Konteks –Konteks Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Morissan, M.A., Dr. Hamid, F, Sos, M.Si., 2010, Teori Komunikasi Massa,Ghalia Indonesia,Jakarta.
Nasrudin, M.Si., Dr. Hidayat, D.A,M.Si., 2007, Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali Pers, Jakarta.
Nurudin, 2003, Komunikasi Massa, Malang: Cespur.
Nurudin. 2004. Komunikasi Massa. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Rajawali Pers.
Nurudin. 2009. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta. PT Rajagarfindo Persada.
Santoso, E., Setiansah, M., 2010, Teori Komuniksai, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Wiryanto. 2000. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Grasindo.





[1] Nurudin,M.Si.,2007, Pengantar Komunikasi Massa, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada), hlm. 2
[2] Wiryanto, 2000, Teori Komunikasi Massa, (Jakarta : PT Grasindo), hlm. 1
[3] Prof. Drs. Onong Uchjana Effendy, M.A, 2006, ILMU KOMUNIKASI Teori dan Praktek : Cetakan keduapuluh, (Bandung : PT Remaja Rosadakarya) hlm. 21
[4] Prof. DR. H. M. Burhan Bungin, S. SOS., M. SI., 2008, Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat : Cetakan ketiga, (Jakarta : Kencana Predana Media Group), hlm. 71
[5] Nurudin, M.Si., 2007, Pengantar Komunikasi Massa, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada), hlm. 14
[6] Severin, Werner J.2005: 314
[7] Nurudin . 2007 : 165
[8] http//jurnalkomunikasi.com
[9] Morissan Teori Komunikasi: Individu hingga massa. Kencana Prenada Media Group (2013). 
[10] Saverin & Tankard, 2001
[11] Saverin & Tankard, 2001
[12] Littlejohn, 1996
[13] Saverin & Tankard, 2001
[14] Dalam salah satu perkembangannya, studi ini diarahkan juga untuk meneliti korelasi antara agenda media; agenda publik; dan agenda kebijakan (baca Manheim: Model Agenda Setting Dinamis).
[15] Framing adalah sebuah proses yang mana jurnalis, reporter, editor mengemas isu/kejadian menjadi sajian yang lebih menyentuh dan lebih menarik. Apa yang ditemukan oleh Shaw dan McCombs (1977) merupakan contoh yang bagus untuk menjelaskan makna framing. Mereka menemukan perbedaan efekagenda setting pada isu tentang kejahatan. Efek akan menjadi semakin kuat pada saat isu tersebut dipotret sebagai masalah sosial daripada disajikan sebagai laporan berita dalam bentuk straigh news. Kesimpulannya adalah bagaimana isu/kejadian dikemas merupakan faktor penentu terhadap derajad pentingnya isu di kalangan audiens.
[16] Sedangkan priming mengacu pada sebuah metafora, yaitu kemampuan program pemberitaan untuk mempengaruhi kriteria yang dapat digunakan oleh para individu untuk menilai performance pemimpin politik mereka. Misal, pemberitaan yang berkelanjutan(terus menerus) mengenai keterlambatan resufle kabinet dapat dipakai audiens untuk menilai sejauh mana willingness, komitmen, dan kredibilitas politis Presiden SBY dalam mengelola pemerintahan.