INTEGRASI ILMU DAN ISLAMISASI ILMU
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini
yang dilakukan oleh kalangan intelektual muslim,
tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia
global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah
konsep bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul menyamai orang-orang barat
apabila mampu mentransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu
pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan.
Dipandang dari sisi
aksiologis ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi
kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam
setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup
manusia seluruhnya. Dengan demikian, ilmu dan teknologi haruslah memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan bukan sebaliknya.
Untuk mencapai
sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu
umum dengan ilmu-ilmu keislaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut tidak bebas
nilai atau sekuler. Pendekatan interdisciplinary dan inter koneksitas antara
disiplin ilmu agama dan umum perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus
tanpa henti.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Klasifikasi Ilmu
Kategorisasi
ilmu dalam Islam bersifat hierarkis tidak dikotomis.Dilihat dari kegunaannya
bagi manusia, ilmu pengetahuan dibagi menjadi ilmu yang baik (al-mahmudah) dan
tidak baik (al-madzmumah).Ilmu madzmumah seperti ilmu perbintangan atau
ilmu-ilmu pemikiran sesat.Menurut al-Ghazali, kendatipun ilmu ini tidak baik,
hendaknya ada sekelompok ilmuan Muslim untuk mempelajarinya.Bukan untuk
mengamalkan ilmu tersebut, tetapi untuk menjaga orang awam dari kerancuan.[1]
Secara
umum, ilmu dalam Islam tidak memisahkan antara ilmu, iman dan amal. Sebagaimana
dikatakan oleh Ibn Hazm, ilmu dan iman berasal dari Tuhan untuk tujuan yang
sama, yaitu menerima secara totalitas kebajikan sebagaimana ditentukan Tuhan
dalam al-Qur’an dan Hadis. Karena itu, ilmu yang ber-worldview sekuler harus
diislamkan.
Al-Attas
memahami sumber-sumber ilmu dengan
merangkum dari beberapa arus pemikiran keilmuan para ulama, mulai dari
para ulama mutkallimin, ulama tasawwuf, dari ulama falsafah, seperti al-Nasafi,
Ibn Arabi, al-Ghazali, Ibn Sina dan lain-lain. Maka bagi al-Attas, manusia
boleh mendapatkan ilmu itu melalui: informasi yang benar (khabar shadiq),
intuition (hads dan ilham), intelek (’aql), dan indera (hawas).
B.
Proses Pengislaman Ilmu
Proses islamisasi itu
bukan sekedar memasukkan dalil naqli ke dalam sains, akan tetapi yang
diislamkan adalah, basis filosofisnya, metode berpikir, atau konsep yang
dianggap menafikan metafisik atau bertentangan dengan konsep-konsep Islam. Di
sinilah peran epistemologi sangat mendasar.
Menurut Dr. Ugi,
apa yang dikatakan pengislaman di antaranya dewesternization of knowledge.
Membuang unsur-unsur Barat yang menyelimuti ilmu-ilmu kontemporer.[2]
Membuang
unsur-unsur sofisme, rasionalisme, postivisme dalam bangaunan Ilmu pengetahuan
sebagai metodologi meraih ilmu.Setelah unsur-unsur tersebut dibuang, maka kita
memasukkan prinsip-prinsip epistemologi Islam. Menurut al-Attas, Islamisasi
ilmu dengan pengujian kritis terhadap metode-metode sains modern,
konsep-konsep, anggapan-anggapan, Teorinya tentang alam semesta; interpretasinya
tentang asal-usul Alam; Rasionalitas proses-proses alam, pemikirannya tentang
eksistensi dunia nyata, klasifikasinya tentang ilmu; batasan-batasannya dan
kaitannya antara satu ilmu dengan ilmu-ilmu lain, dan hubungan sosialnya.
Islamisasi
ilmu pengetahuan meniscayakan sebuah konstruk dan prinsip epistemologi Islam
sebagai dasarnya.Westernisasi ilmu masuk pada aspek paradigma dan
epistemologi.Karena itu, proyek Islamisasi tidak bisa menafikan epistemologi
yang berdasarkan pandangan alam Islam. Tanpa itu, proyek akan sia-sia dan ke
depannya akan memunculkan masalah paradigmatis. Kegagalan proyek islamisasi dan
kesalahfahaman tentang islamisasi disebabkan karena menyederhanakan dengan
hanya menambah dalil-dalil Islam.Padahal, yang diislamkan adalah pandangan
alamnya yang di dalamnya mengandung epistemologi.
C.
Pengertian Islamisasi dan Integrasi Ilmu
Menurut
KBBI, integrasi adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.[3]Salah
satu istilah yang paling populer dipakai dalam konteks integrasi ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu umum adalah kata Islamisasi.Menurut Echols dan Hasan
Sadiliy, kata Islamisasi berasal dari bahasa inggris “Islamization” yang
berarti pengislaman.Dalam kamus Webster, Islamisasi bermakna to bring within
Islam. Makna yang lebih luas adalah menunjuk pada proses pengislaman,
dimana objeknya adalah orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun objek
lainnya.[4]
Konsep
integrasi ilmu, dalam Islam disandarkan pada prinsip tauhid.Kalimat tauhid
secara konvensional diartikan sebagai tiada tuhan selain Allah.Kalimat ini
adalah dasar dari keislaman seseorang. Bagi para filosof muslim, kalimat tauhid
ini mengindikasikan bahwa Allah merupakan dzat yang simpel, tidak boleh
tersusun oleh dari apapun kecuali oleh esensi dzat-Nya sendiri. Allah tidak
mempunyai genus dan spesies, sehingga pada diri-Nya esensi dan eksistensi
menyatu, tapi bukan satu.[5]
Islamisasi
ilmu pengetahuan menurut Faruqy, menghendaki adanya hubungan timbal balik
antara realitas dan aspek kewahyuan.Dalam konteks ini, untuk memahami
nilai-nilai kewahyuan, umat Islam harus memanfaatkan ilmu pengetahuan. Tanpa
memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam upaya memahami wahyu, umat Islam akan terus
tertinggal oleh umat lainnya. Karena realitasnya saat ini ilmu pengetahuanlah
yang amat berperan dalam menentukan tingkat kemajuan umat manusia.[6]
D.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut
Al-Attas
Al-Attas
melihat bahwa ilmu pengetahuan yang ada ini tidak bersifat netral, sehingga
ilmu pun tidak dapat berdiri bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidaklah bebas nilai
(value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden).[7]
Ilmu yang ada ini sudah terbaratkan
atau tersekulerkan.Pengetahuan dan ilmu yang tersebar sampai ke tengah
masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah diwarnai corak budaya dan
peradaban Barat.Pengetahuan yang disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan
yang semu yang dilebur secara halus dengan yang sejati (the real) sehingga
manusia yang mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan
yang sejati.Karena itu, al-Attas memandang bahwa peradaban Barat tidak layak
untuk dikonsumsi sebelum diseleksi terlebih dahulu.[8]
Kehidupan
Barat yang bercirikan sekuler telah menjadikan sains (ilmu pengetahuan) sebagai
satu-satunya pengetahuan yang bersifat otentik yang hanya dikaitkan dengan
fenomena semata.Kriteria untuk mengukur sebuah kebenaran juga hanya berpatokan
pada rasio.
Pandangan
seperti itu muncul karena sains Barat tidak dibangun di atas wahyu.Ia dibangun
di atas budaya yang diperkuat oleh spekulasi filosofis kehidupan sekuler yang
memusatkan manusia sebagai makhluk rasional.Akibatnya, ilmu pengetahuan,
nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus
berubah.Inilah yang dikritisi oleh Al-Attas.Pandangan tersebut menurutnya tidak
sesuai dengan epistimologi Islam.
Menurut
al-Attas, pengetahuan Barat telah membawa kebingungan (confusion) dan
skeptisisme (skepticism).Barat telah mengangkat sesuatu hal yang masih dalam
keraguan dan dugaan ke derajat ilmiah dalam hal metodologi.Peradaban Barat juga
memandang keragu-raguan sebagai suatu sarana epistimologis yang cukup baik dan
istimewa untuk mengejar kebenaran.Tidak hanya itu, pengetahuan Barat juga telah
membawa kekacauan pada tiga kerajaan alam yaitu hewan, nabati dan mineral.[9]
Padahal
sejatinya, Islam telah memberi kontribusi yang sangat berharga pada peradaban
Barat dalam bidang pengetahuan dan menanamkan semangat rasional serta ilmiah,
meski diakui bahwa sumber asalnya juga berasal dari Barat sendiri, yakni dari
para filosof Yunani. Namun berkat kegigihan usaha para sarjana dan cendekiawan
muslim di masa klasik, warisan yunani tersebut dapat digali dan dikembangkan.
Bahkan, pengetahuan-pengetahuan telah diaplikasikan untuk kesejahteraan umat
manusia, setelah dilakukan usaha-usaha secara ilmiah melalui penelitian dan
percobaan.Barat mengambil alih pengetahuan dan ilmu tersebut dari dunia
Islam.Pengetahuan dan semangat rasional serta semangat ilmiah tersebut dibentuk
dan dikemas kembali untuk disesuaikan dengan kebudayaan Barat sehingga lebur
dan terpadu dalam suatu dualisme menurut pandangan hidup (worldview) dan
nilai-nilai kebudayaan serta peradaban Barat.Menurut al-Attas, dualisme tidak
mungkin diselaraskan karena terbentuk dari ide-ide, nilai-nilai, kebudayaan,
keyakinan, filsafat, agama, doktrin, dan teologi yang bertentangan.[10]
Sedang
kelahiran ilmu dalam Islam, menurut Al-Attas , didahului oleh tradisi
intelektual yang tak lepas dari lahirnya pandangan hidup Islam yang bersumber
dari al-Qur`an dan penjelasannya dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam (SAW).
Berdasar
inilah, sains dalam Islam menempatkan wahyu sebagai sumber ilmu untuk alat ukur
sebuah kebenaran akhir.Wahyu menjadi dasar bagi kerangka metafisis untuk
mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran
dari sudat pandang rasionalisme dan empirisisme.
Realitas
dan kebenaran dalam Islam bukan semata-mata pikiran tentang alam fisik dan
keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik, dan budaya, sebagaimana
yang ada di dalam konsep Barat. Namun, ia dimaknai berdasarkan kajian
metafisika terhadap dunia yang tampak dan tidak tampak.Pandangan hidup Islam
mencakup dunia dan akhirat. Aspek dunia itu harus dihubungkan dengan cara yang
sangat mendalam kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansi
yang terakhir dan final.
E.
Paradigma Islamisasi
ilmu
Pembahasan tentang
epistemologi islam secara garis besar dapat dibagi dua macam. Pertama,
berkaitan dengan epistemology islam dalam versi filosof muslim. Dalam kaitan
ini maka penting untuk melihat perkembangan filsafat di dunia islam demi
mencari asal muasal dan orisinalitas berpikir mereka. Kedua, mencari
epistemologi islam yang secara spesifik berasal dari pandangan al-Quran, dimana
harus dibiarkan al-Quran bicara sendiri.
Pada pembahasan
bagian pertama, yaitu epistemologi islam dalam pandangan kaum filosof muslim,
terlebih dahulu harus benar-benar dipahami bahwa pengetahuan adalah ilmu yang
tidak hanya membahas tentang objek fisik, karena realitas memiliki objek fisik
dan non-fisik sekaligus. Islam mengakui objek non-fisik seperti Tuhan,
malaikat, dan jiwa.Inilah yang paling membedakan dengan paradigm sekuler,
karena mereka membatasi objek pengetahuan hanya pada objek-objek fisik sejauh
bisa diindra.
Adapun
tentang pembahasan yang kedua, epistemologik al-Quran, menurut Kuntowijoyo
untuk mendapatkan pemahaman tentang pendekatan al-Quran, maka ia menamakannya
dengan pendekatan sintetik analitik.[11]
Islamisasi
ilmu adalah sebuah keharusan, sebagian akademisi masih ada yang meragukan dan
salah paham tentang makna “Islamisasi Ilmu”, padahal, tindakan islamisasi
adalah proses yang wajar dari aktifitas seorang muslim. Sangat wajar jika
seorang muslimislamisasi Ilmu sebagaimana kaum liberal melakukan liberalisasi,
kaum komunis melakukan komunisasi dan kaum sekuler melakukan sekulerisasi.
Islamisasi
dilakukan umtuk mengembalikan ilmu pada tenpat dan fungsinya yang utama, yakni
untuk menjadikananak didik menjadi manusia-manusia yang beradab, bukan manusia
biadab. Yakni manusia yang baik, yang mengenal Allah, Ikhlas menjadikan
Rosulullah saw sebagia uswah hasanah, meletakkan ulama sebagai pewaris Nabi,
memahami kedudukan ilmu, mampu meletakkan para pahlawan sesuai dengan harkat
dan mertabat yang ditentukan Allah, serta mampu mengembangkan potensi yang ada
pada dirinya agar dia menjadi Abdullah dan khalifatillah yang baik.
F.
Paradigma Integrasi Ilmu
Dalam
bahasa Inggris, terdapat tiga jenis yang merujuk pada kata integrasi, yaitu
sebagai kata kerja to integrate yang berarti mengintegrasikan,
menyatupadukan, menggabungkan, mempersatukan (dua hal atau lebih menjadi
satu).Sebagai kata benda, integration, berarti integrasi,pengintegrasian
atau penggabungan, atau integrity berarti ketulusan hati,
kejujuran dan keutuhan.
Paradigma
integrasi ilmu berarti cara pandang tertentu atau model pendekatan tertentu
terhadap ilmu pengetahuan yang bersifat menyatukan, disebut paradigma integrasi
ilmu integratif atau singkatnya paradigma integrasi ilmu integralistik yaitu
pandangan yang melihat sesuatu ilmu sebagai bagian dari keseluruhan.[12]
Salah
satu tradisi keilmua islam adalah menyatukan antara ilmu dan amal, antara ilmu
dan akhlak. maka di dalam islam, jiak ada ilmuwan/ulama yang fasik atau rusak
amalnya, dia tidak diterima sebagai bagian dari ulama islam. Para imam madzab
adalah orang-orang yang berilmu dan berakhlah tinggi. Seorang yang berilmu
islam wajib mengamalkan ilmunya.
Kecenderungan
memisahkan ilmu dari amal dalam studi islam model orientalis sangat perlu
menjadi perhatian kaum muslim. Mereka membawa tradisi memisahkan ilmu dan amal.
Bayak dari para orientalis yang pandai tentang ilmu-ilmu keislaman tetapi tetap
tidak beriman pada kebenaran islam. Mereka pandai tentang al-Qur’an tetapi
tetap tidak mengimani Al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT. Oleh karena itu, para
sarjana muslim harus menjadi orang yang beragama yang sungguh-sungguh.
G.
Latar Belakang
Perlunya Integrasi Ilmu
Maraknya
kajian dan pemikiran integrasi keilmuan (islamisasi ilmu pengetahuan) dewasa
ini didengungkan oleh kalangan intelektual muslim antara lain Naquib al-Attas
dan Ismail Raji’ al-Faruqy, tidak lepas dari kesadaran berislam di tengah pergumulan
dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu teknologi. Ia misalnya berpendapat
bahwa umat Islam akan maju dan dapat menyusul Barat manakala mampu
mentransformasikan ilmu pengetahuan dalam memahami wahyu atau sebaliknya mampu
memahami wahyu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Usaha
menuju integrasi keilmuan sejatinya telah dimulai sejak abad ke 9, meski
mengalami pasang surut.Pada masa al-Farabi (lahir tahun 257 H) gagasan tentang
kesatuan dan hirarki ilmu yang muncul sebagai hasil penyelidikan tradisional
terhadap epistemologi serta merupakan basis bagi penyelidikan hidup subur dan
mendapat tempatnya.[13]
Integrasi
keilmuan al-Farabi dimanifestasikan dalam hirarki keilmuan yang dibuatnya.Ia
menyebut tiga criteria dalam penyusunan hierarki ilmu. Pertama,
berdasarkan subjek ilmu.Kedua, kedalaman bukti-bukti yang didasarkan
atas pandangan tentang sistematika pernyataan kebenaran dalam berbagai ilmu
yang ditandai oleh perbedaan derajat kejelasan dan keyakinan.Ketiga,
berdasarkan besarnya manfaat suatu ilmu.Kriteria ketiga ini berkaitan secara
langsung dengan masalah hokum etika.[14]
Kriteria
ilmu al-Farabi, karena bukan didasarkan atas ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum
tetapi berdasarkan ketiga faktor di atas, maka yang terjadi adalah upaya
pengintegralan (islamisasi) ilmu pengetahuan.Dalam klasifikasi ini, belum
terlihat jelas integrasi antara ilmu agama dan rasional.
Dalam
konteks Indonesia, usaha integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum pernah
dilakukan oleh M. Natsir sebagaimana tertuangkan dalam buku Capita Selecta.
Menurut Natsir, pendidikan islam yang integral tidak mengenal adnya pemisahan
antara sains dengan agama. Karena penyatuan antara sistem-sistem pendidikan
islam adalah tuntutan akidah islam.[15]
H.
Integrasi Ilmu Agama
dan Ilmu Umum
Agama dan ilmu dalam beberapa hal berbeda, namun dalam pada
sisi tertentu memiliki kesamaan.Agama lebih mengedepankan moralitas dan menjaga
tradisi yang sudah mapan (ritual), cenderung eksklusif, dan subjektif.Sementara
ilmu selalu mencari yang baru, tidak terlalu terkait dengan etika, progresif,
bersifat inklusif, dan objektif.Kendati agama dan ilmu berbeda, keduanya
memiliki kesamaan, yakni bertujuan memberi ketenangan dan kemudahan bagi
manusia.[16]
Karakteristik
agama dan ilmu tidak selalu harus dilihat dalam konteks yang berseberangan,
tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana keduanya bersinergi dalam membantu
kehidupan manusia yang lebih layak.Contohnya, ilmu dan teknologi mampu
mengantarkan manusia dalam tataran yang global, yang juga sering disebut dengan
era informasi, tetapi kehidupan yang global itu pula yang menyelenggarakan
sebagian besar penduduk di muka bumi ini.
Sebagaimana
ilmu dan teknologi, agama mendapat tantangan dari rasionalitas manusia yang
telah membuktikan diri mampu mengubah penampilan dunia fisik.Perwujudan dari
kearifan religious yang unspeakable dikalahkan oleh rasionalitas yang
senantiasa melihat persoalan secara teknis sebatas alam fisik.Pada tingkat
praktis, “agama kuno” memiliki apresiasi terhadap kehidupan yang lebih baik dan
ini mengacu kepada jiwa yang lebih kesatria dan mulia. Sedangkan “agama modern”
mewakili sikap egoistis manusia terhadap lingkungannya, jika bukan memamerkan
cara mengesahkan keserakahan sekedar untuk tidak dianggap kuno.[17]
Semangat
yang berlebihan dalam beragama justru akan merugikan dan merusak makna agama
itu sendiri. Di satu pihak penerapan rasionalitas dalam agama yang dilakukan
oleh mereka yang ingin memodernisasikan agama agar sesuai dengan kemajuan jaman
atau berpretensi untuk membersihkan agama dari berbagai bid’ah akan memiskinkan
agama sekedar pelayan materialisme, karena rasionalitas hanya dapat bekerja
pada wilayah logis yang speakable
dan bukan wilayah reflektif dari pengetahuan manusia di mana wilayah
rasionalitas harus bekerja dua kali dan dengan demikian mengingkari dirinya. Di
pihak lain, religiusitas tidak dapat direalisasikan secara paksa karena hanya
akan memuaskan perasaan manusia belaka.[18]
Moh.
Natsir Mahmud mengemukakan beberapa proposisi (usulan) tentang kemungkinan
islamisasi ilmu pengetahuan, sebagai berikut :
a.
Dalam pandangan islam, alam semesta
sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan mengandung nilai (value)
dan “maksud” yang luhur. Bila alam dikelola dengan “maksud” yang inheren dalam
dirinya akan membawa manfaat bagi manusia. “Maksud” alam tersebut adalah suci
(baik) sesuai dengan misi yang diemban dari Tuhan.
b.
Ilmu pengetahuan adalah produk alam
pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena di sekitarnya. Sebagai
produk pikiran, maka corak ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula oleh corak
pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti.
c.
Dalam pandangan islam, proses pencarian
ilmu tidak hanya berputar-putar disekitar rasio dan empiri, tetapi juga
melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empiri
mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan
konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai.
d.
Dalam pandangan islam realitas itu
tidak hanya realitas fisis tetapi juga ada realitas non-fisis atau metafisis.
Pandangan ini diakui oleh ontology rasionalisme yang mengakui sejumlah
kenyataan empiris, yakni empiris sensual, rasional, empiris etik dan empiris
transeden.[19]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Integrasi adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.
2.
Islamisasi adalah menunjuk pada proses pengislaman, dimana objeknya adalah
orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun objek lainnya.
3.
Epistemologi islam dalam pandangan kaum filosof muslim, terlebih dahulu harus
benar-benar dipahami bahwa pengetahuan adalah ilmu yang tidak hanya membahas
tentang objek fisik, karena realitas memiliki objek fisik dan non-fisik sekaligus.
4. Epistemologik
al-Quran, menurut Kuntowijoyo untuk mendapatkan pemahaman tentang pendekatan
al-Quran, maka ia menamakannya dengan pendekatan sintetik analitik.
5.
Paradigma integrasi ilmu berarti cara pandang tertentu atau model pendekatan
tertentu terhadap ilmu pengetahuan yang bersifat menyatukan, disebut paradigma
integrasi ilmu integratif atau singkatnya paradigma integrasi ilmu
integralistik yaitu pandangan yang melihat sesuatu ilmu sebagai bagian dari
keseluruhan.
6. Agama
dan ilmu dalam beberapa hal berbeda, namun dalam pada sisi tertentu memiliki
kesamaan. Agama lebih mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi yang sudah
mapan (ritual), cenderung eksklusif, dan subjektif.Sementara ilmu selalu
mencari yang baru, tidak terlalu terkait dengan etika, progresif, bersifat
inklusif, dan objektif.Kendati agama dan ilmu berbeda, keduanya memiliki
kesamaan, yakni bertujuan memberi ketenangan dan kemudahan bagi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Atas, Syed Muhammad Naquib.Islam dan Sekularisme, Terj.
Karsidjo Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1981)
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993)
Azyumardi Azra. dkk, Integrasi Keilmuan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset…,
Bahtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, (Jakarta : Rajawali Press,
2010)
Daud, Wan Mohd Nor Wan. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib
al-Attas,terj. (Bandung: Mizan,2003)
Kartanegara, Mulyadi. Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik,
(Bandung: Mizan, 2005)
LP3ES. Agama dan
Tantangan Zaman, (Jakarta :LP3ES, 1985),
Mahmud, Moh.
Natsir.Landasan Paradigma Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : Gramedia, 1986)
Naim, Abdullah Ahmad.dkk.,Pemikiran Islam Kontemporer(Yogyakarta:
Jendela, 2003)
Nata, Abudin.
dkk. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Ciputat: UIN Jakarta Press,
2003)
Pusat Bahasa Kemendiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia ,
edisi 3, 2011.
Suharto, Ugi. Epistemologi Islam dalam On Islamic
Civilization (Laode M Kamaluddin dkk)
[1]Wan
Mohd Nor Wan Daud,Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib
al-Attas,terj. (Bandung: Mizan,2003), hal. 270
[2]
Ugi Suharto,Epistemologi Islam dalam On Islamic Civilization (Laode M
Kamaluddin dkk),…hal. 163
[3]Pusat
Bahasa Kemendiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia , edisi 3, 2011.
[4]Abudin
Nata, dkk. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Ciputat: UIN Jakarta
Press, 2003), Cet 1, h. 171.
[5]Mulyadi
Kartanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung:
Mizan, 2005), h. 32.
[6]Abudin
Nata, dkk. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum…, h. 171.
[7]Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), p.
134.
[8]Abdullah
Ahmad Na’im, dkk., Pemikiran Islam Kontemporer(Yogyakarta: Jendela, 2003), p.
338
[9]Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, Terj. Karsidjo Djojosuwarno
(Bandung: Pustaka, 1981), p. 195-196.
[10]al-Attas,
Islam dan Sekularisme…, hal. 197-198
[11][11]Azyumardi Azra,dkk, Integrasi
Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset, (Jakarta
: UIN Jakarta Press, 2006), h. 42.
[12]Azyumardi Azra,dkk, Integrasi
Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset…, h. 47.
[19]Moh. Natsir Mahmud, Landasan
Paradigma Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : Gramedia, 1986), h. 129