Hubungan
Suami - Istri
Apakah
setiap pasangan diharuskan untuk memikul tanggung jawab keluarga yang lain?
Adanya
pernikahan tidak mengakibatkan suami atau istri diharuskan memikul tanggung
jawab-tanggung jawab baik secara yuridis (qanuniyyah) atau secara syar'i
terhadap keluarga pasangan yang lain. Namun, adanya hubungan suami dengan
keluarganya dan hubungan istri dengan keluarganya merupakan hal yang alami.
Maka, campur tangan salah seorang dari kedua pasangan untuk memisahkan teman
hidupnya (istri atau suami-pent.) dari keluarganya, akan menyebabkan timbulnya
kompleksitas hubungan antara suami dan istri, sebab pihak yang terluka dari
keterpisahan ini, yaitu keluarga, akan memberontak dengan cara-cara yang boleh
jadi akan menyakiti hubungan suami-istri. Oleh karena itu, hendaklah
masing-masing pasangan menganggap bahwa dirinya merupakan bagian dari
masyarakat teman hidupnya, di mana suami menjadi bagian dari keluarga istri,
dan istri menjadi bagian dari keluarga suami. Masalah ini menuntut keinginan
mereka untuk menjalani kehidupan rumah tangga bersama dan kecintaan di antara
masing-masing mereka, karena kehidupan suami-istri tegak berdasarkan
penghormatan timbal balik atas perasaan setiap pasangan dan hubungan emosional
serta sosialnya. Kami memetik hal itu dari firman-Nya swt, "Dan di antara
tanda- tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang." (QS. ar-Rum: 21)
Rasa
tenteram ( al-mawaddah) mengharuskan si suami dan istri untuk saling terbuka
dalam perasaan mereka masing-masing dan hendaklah setiap dari mereka menghargai
perasaan yang lain, baik perasaan itu berhubungan dengan pribadi masing-masing
mereka atau berkaitan dengan hubungan emosional dengan orang- orang lain. Kata
rahmat ( ar-rahmah) mengisyaratkan bahwa hendaklah setiap mereka harus
menyayangi (mengerti) kondisi-kondisi pihak yang lain, di mana si istri menghargai
komitmen suaminya untuk menjaga kedua orang tuanya dan penghormatannya atas
perasaan mereka berdua, meskipun perasaan mereka berdampak negatif terhadapnya
(istri), selama penjagaan itu tidak memberatkan hubungan suaminya dengannya.
Sebaliknya, hendak- lah suami menghormati perasaan istrinya terhadap ibu dan
bapaknya, saudara-saudara laki-lakinya, saudari-saudari perempuannya, serta
sanak kerabatnya. Hendaklah dia (suami) tidak berusaha mengucilkan istrinya
dari mereka (keluarga) , dan tidak bersikap kasar dengan melarangnya untuk
mengunjungi mereka atau melarang mereka untuk mengunjungi istrinya karena dia
merasa memiliki hak dalam hal itu berdasarkan sebagian fatwa yang memberinya
hak penuh dalam masalah seperti ini.
Hendaklah
suami-istri mengetahui bahwa masing-masing mereka mempunyai perasaan dan emosi
yang terkait dengan keadaan khusus, dan hendaklah setiap mereka menghormatinya.
Dalam
keadaan di mana keluarga salah seorang dari mereka (suami-istri) mempengaruhi
secara negatif atas anak-anak dan hubungan di antara suami-istri, bagaimana
sikap yang harus diambil?
Kepedulian
masing-masing suami-istri terhadap hubungan emosional dan sosial yang mengikat
pasangannya dengan lingkungannya merupakan norma umum yang harus dihormati.
Tetapi, jika hubungan suami-istri dengan keluarga siapa pun dari mereka
ternyata membahayakan agama, akhlak, atau kesehatan, atau bentuk bahaya apa pun
yang mengancam kedua pasangan atau anak-anak mereka, maka dalam keadaan seperti
ini bahaya tersebut harus dihindari, dengan mengambil langkah-langkah preventif
yang sesuai dengan kadar dan tingkat bahaya itu yang dihawatirkan terjadi,
sehingga mereka beserta anak-anak mereka terhindar darinya.