|
*OLEH NAHARUDDIN*
KETUA HMJ KOMUNIKASI PENYIRAN ISLAM (KPI) STAIL SURABAYA
Saat
ini umat Islam dihadapkan pada kenyataannya bahwa khilafah Islamiyah yang
tadinya besar itu telah dipecah-pecah oleh penjajah menjadi negeri kecil-kecil
dengan sistem pemerintahan yang sekuler. Namun mayoritas rakyatnya Islam dan
banyak yang masih berpegang teguh pada Islam. Sedangkan para penguasa dan
pemegang keputusan ada di tangan kelompok sekuler dan kafir, sehingga syariat
Islam tidak bisa berjalan. Karena mereka menerapkan sistem hukum yang bukan
Islam dengan format sekuler dengan mengatasnamakan demokrasi.
Meski prinsip demokrasi itu lahir di barat dan begitu juga dengan
trias politikanya, namun tidak selalu semua unsur dalam demokrasi itu
bertentangan dengan ajaran Islam. Bila kita jujur memilahnya, sebenarnya ada
beberapa hal yang masih sesuai dengan Islam. Beberapa diantaranya yang dapat
kami sebutkan antara lain adalah :
Prinsip syura (musyawarah) yang tetap ada dalam demokrasi meski
bila deadlock diadakan voting. Voting atau pengambilan suara itu sendiri
bukannya sama sekali tidak ada dalam syariat Islam. Begitu juga dengan sistem
pemilihan wakil rakyat yang secara umum memang mirip dengan prinsip ahlus
syuro. Memberi suara dalam pemilu sama dengan memberi kesaksian atas kelayakan
calon.
Termasuk adanya pembatasan masa jabatan penguasa. Sistem
pertanggung-jawaban para penguasa itu di hadapan wakil-wakil rakyat. Adanya
banyak partai sama kedudukannya dengan banyak mazhab dalam fiqih.
Namun memang ada juga yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat
Islam, yaitu bila pendapat mayoritas bertentangan dengan hukum Allah. Juga
praktek-praktek penipuan, pemalsuan dan penyelewengan para penguasa serta
kerjasama mereka dalam kemungkaran bersama-sama dengan wakil rakyat. Dan yang
paling penting, tidak adanya ikrar bahwa hukum tertinggi yang digunakan adalah
hukum Allah SWT.
Namun sebagaimana yang terjadi selama ini di dalam dunia
perpolitikan, masing-masing penguasa akan mengatasnamakan demokrasi atas
pemerintahannya meski pelaksanaannya berbeda-beda atau malah bertentangan
dengan doktrin dasar demokrasi itu sendiri.
Sebagai contoh, dahulu Soekarno menjalankan pemerintahannya dengan
gayanya yang menurut lawan politiknya adalah tirani, namun dengan tenangnya dia
mengatakan bahwa pemerintahannya itu demokratis dan menamakannya dengan
demokrasi terpimpin.
Setelah itu ada Soeharto yang oleh lawan politiknya dikatakan
sebagai rezim yang otoriter, namun dia tetap saja mengatakan bahwa
pemerintahannya itu demokratis dan menamakannya demokrasi pancasila. Di belahan
dunia lain kita mudah menemukan para tirani rejim lainnya yang nyata-nyata
berlaku zalim dan memubunuh banyak manusia tapi berteriak-teriak sebagai
pahlawan demokrasi. Lalu sebenarnya istilah demokrasi itu apa ?
Istilah demokrasi pada hari ini tidak lain hanyalah sebuah
komoditas yang sedang ngetrend digunakan oleh para penguasa dunia untuk
mendapatkan kesan bahwa pemerintahannya itu baik dan legitimate. Padahal kalau
mau jujur, pada kenyataannya hampir-hampir tidak ada negara yang benar-benar
demokratis sesuai dengan doktrin dasar dari demokrasi itu sendiri.
Lalu apa salahnya ditengah ephoria demokrasi dari masyarakat dunia
itu, umat Islam pun mengatakan bahwa pemerintahan mereka pun demokratis, tentu
demokrasi yang dimaksud sesuai dengan maunya umat Islam itu sendiri.
Kasusnya sama saja dengan istilah reformasi di Indoensia. Hampir
semua orang termasuk mereka yang dulunya bergelimang darah rakyat yang
dibunuhnya, sama-sama berteriak reformasi. Bahkan dari sekian lusin partai di
Indonesia ini, tidak ada satu pun yang tidak berteriak reformasi. Jadi
reformasi itu tidak lain hanyalah istilah yang laku dipasaran meski -bisa jadi-
tak ada satu pun yang menjalankan prinsipnya.
Maka tidak ada salahnya pula bila pada kasus-kasus tertentu, para
ulama dan tokoh-tokoh Islam melakukan analisa tentang pemanfaatan dan pengunaan
istilah demokrasi yang ada di negara masing-masing. Lalu mereka pun melakukan
evaluasi dan pembahasan mendalam tentang kemungkinan memanfaatkan sistem yang
ada ini sebagai peluang menyisipkan dan menjalankan syariat Islam.
Hal itu mengingat bahwa untuk langsung mengharapkan terwujudnya
khilafah Islamiyah dengan menggunakan istilah-istilah baku dari syariat Islam
mungkin masih banyak yang merasa risih. Begitu juga untuk mengatakan bahwa ini
adalah negara Islam yang tujuannya untuk membentuk khilafah, bukanlah sesuatu yang
dengan mudah terlaksana.
Jadi tidak mengapa kita sementara waktu meminjam istilah-isitlah
yang telanjur lebih akrab di telinga masyarakat awam, asal di dalam
pelaksanaannya tetap mengacu kepada aturan dan koridor syariat Islam.
Bahkan sebagian dari ulama pun tidak ragu-ragu menggunakan istilah
demokrasi, seperti Ustaz Abbas Al-`Aqqad yang menulis buku ‘Ad-Dimokratiyah
fil Islam’. Begitu juga dengan ustaz Khalid Muhammad Khalid yang malah
terang-terangan mengatakan bahwa demokrasi itu tidak lain adalah Islam itu
sendiri.
Semua ini tidak lain merupakan bagian dari langkah-langkah
kongkrit menuju terbentuknya khilafah Islamiyah. Karena untuk tiba-tiba
melahirkan khilafah, tentu bukan perkara mudah. Paling tidak, dibutuhkan sekian
banyak proses mulai dari penyiapan konsep, penyadaran umat, pola pergerakan dan
yang paling penting adalah munculnya orang-orang yang punya wawasan dan ekspert
di bidang ketata-negaraan, sistem pemerintahan dan mengerti dunia perpolitikan.
Dengan menguasai sebuah parlemen di suatu negara yang mayoritas
muslim, paling tidak masih ada peluang untuk ‘mengislamisasi’ wilayah
kepemimpinan dan mengambil alihnya dari kelompok anti Islam. Dan kalau untuk
itu diperlukan sebuah kendaraan dalam bentuk partai politk, juga tidak masalah,
asal partai itu memang tujuannya untuk memperjuangkan hukum Islam dan berbasis
masyarakat Islam. Partai ini menawarkan konsep hukum dan undang-undang Islam
yang selama ini sangat didambakan oleh mayoritas pemeluk Islam. Dan di atas
kertas, hampir dapat dipastikan bisa dimenangkan oleh umat Islam karena mereka
mayoritas. Dan bila kursi itu bisa diraih, paling tidak, secara peraturan dan
asas dasar sistem demokrasi, yang mayoritas adalah yang berhak menentukan hukum
dan pemerintahan.
Umat Islam sebenarnya mayoritas dan seharusnya adalah kelompok yang
paling berhak untuk berkuasa untuk menentukan hukum yang berlaku dan memilih
eksekutif (pemerintahan). Namun sayangnya, kenyataan seperti itu tidak pernah
disadari oleh umat Islam sendiri. Tanpa adanya unsur umat Islam dalam parlemen,
yang terjadi justru di negeri mayoritas Islam, umat Islammnya tidak bisa hidup
dengan baik. Karena selalu dipimpin oleh penguasa zalim anti Islam. Mereka
selalu menjadi penguasa dan umat Islam selalu jadi mangsa.
Kesalahannya antara lain karena persepsi sebagian muslimin bahwa
partai politik dan pemilu itu bid`ah. Sehingga yang terjadi, umat Islam justru
ikut memilih dan memberikan suara kepada partai-partai sekuler dan anti Islam.
Karena itu sebelum mengatakan mendirikan partai Islam dan masuk parlemen untuk
memperjuangkan hukum Islam itu bid`ah, seharusnya dikeluarkan dulu fatwa yang
membid`ahkan orang Islam bila memberikan suara kepada partai non Islam. Atau
sekalian fatwa yang membid`ahkan orang Islam bila hidup di negeri non-Islam.
Partai
Islam dan Parlemen adalah peluang Dakwah:
Karena itu peluang untuk merebut kursi di parlemen adalah peluang
yang penting sebagai salah satu jalan untuk menjadikan hukum Islam diakui dan
terlaksana secara resmi dan sah. Dengan itu, umat Islam punya peluang untuk
menegakkan syariat Islam di negeri sendiri dan membentuk pemerintahan Islam
yang iltizam dengan Al-Quran dan Sunnah.
Tentu saja jalan ke parlemen bukan satu-satunya jalan untuk
menegakkan Islam, karena politik yang berkembang saat ini memang penuh tipu
daya. Lihatlah yang terjadi di AlJazair, ketika partai Islam FIS memenangkan
pemilu, tiba-tiba tentara mengambil alih kekuasaan. Tentu hal ini menyakitkan,
tetapi bukan berarti tidak perlu adanya partai politik Islam dan pentingnya
menguasai parlemen. Yang perlu adalah melakukan kajian mendalam tentang taktik
dan siasat di masa modern ini bagaimana agar kekuasaan itu bisa diisi dengan
orang-orang yang shalih dan multazim dengan Islam. Agar hukum yang berlaku
adalah hukum Islam.
Selain itu dakwah lewat parlemen harus diimbangi dengan dakwah
lewat jalur lainnya, seperti pembinaan masyarakat, pengkaderan para teknokrat
dan ahli di bidang masing-masing, membangun SDM serta menyiapkan kekuatan
ekonomi. Semua itu adalah jalan dan peluang untuk tegaknya Islam, bukan sekedar
berbid`ah ria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar